PERKEMBANGAN KAWASAN ASIA TENGGARA SAAT INI
PERKEMBANGAN KAWASAN ASIA TENGGARA SAAT INI
- Latar Belakang
Asia Tenggara adalah sebuah kawasan di benua asia bagian
tenggara. Kawasan ini mencakup Indochina dan Semenanjung Malaya serta kepulauan
disekitarnya. Kawasan asia tenggara terdiri dari Asia Tenggara Daratan dan Asia
Tenggara Maritim. Negara-negara yang termasuk ke dalam Asia Tenggara Daratan
adalah Kamboja, Laos, Myanmar, Thailand dan Vietnam. Sedangkan negara-negara
yang termasuk ke dalam Asia Tenggara Maritim adalah Brunei, Filipina,
Indonesia, Malaysia, Singapura dan Timor Leste.
Semua negara Asia Tenggara terhimpun ke dalam organisasi ASEAN (Association South East Asian Nation), kecuali Timor Leste yang hanya berstatus sebagai pengamat karena alasan politis. Organisasi ini bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial, dan pengembangan kebudayaan negara-negara anggotanya, serta memajukan perdamaian di tingkat regional.
Semua negara Asia Tenggara terhimpun ke dalam organisasi ASEAN (Association South East Asian Nation), kecuali Timor Leste yang hanya berstatus sebagai pengamat karena alasan politis. Organisasi ini bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial, dan pengembangan kebudayaan negara-negara anggotanya, serta memajukan perdamaian di tingkat regional.
Sepanjang sejarahnya, hubungan antar negara-negara di Asia
Tenggara yang tergabung dalam ASEAN mengalami perkembangan mengenai berbagai
isu. Sebagai negara-negara yang memiliki kedekatan secara geografi, tak heran
jika isu-isu yang mengemuka dalam hubungan negara-negara di Asia Tenggara ini
meliputi segala aspek dalam kehidupan bernegara, yaitu berkenaan dengan aspek
ekonomi, politik, sosial budaya, pertahanan, dan keamanan.
- Kerjasama di Asia Tenggara
Kerjasama Negara-negara Asia Tenggara - Kerja sama berarti saling
berhubungan, saling membuat jalinan dan saling dukung mendukung untuk
kepentingan bersama serta saling menguntungkan. Kerja sama dalam perdagangan,
pendidikan, keamanan bersama, kebudayaan, dan lain-lain. Semua itu dilakukan
untuk kepentingan bersama dan saling menguntungkan.
Kerja sama
antar negara-negara kawasan Asia Tenggara sudah lama dilakukan, baik itu secara
formal maupun non formal.
1. Faktor-faktor
Pendorong Kerjasama Negara-negara Kawasan Asia Tenggara
Sebuah
negara tidak mungkin hidup menyendiri. Setiap negara butuh hubungan dan kerja
sama dengan negara lain dalam berbagai hal. Apalagi jika negara-negara tersebut
saling berdekatan wilayahnya seperti di kawasan Asia Tenggara ini. Sebagai
contoh, kerja sama bidang perdagangan (untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi),
kerja sama bidang keamanan dan ketertiban, dukungan politik internasional, dan
masih banyak lagi.
Mengapa
kerja sama antarnegara-negara kawasan Asia Tenggara penting? Berdasar
pengalaman masa lalu hingga saat ini, paling tidak terdapat beberapa faktor
penting. Beberapa faktor penting yang dimaksud paling tidak meliputi :
a. Faktor
Kesamaan Nasib dan Sejarah
Semua
negara-negara di kawasan Asia Tenggara sama-sama mengalami penjajahan oleh
bangsa lain (kecuali Thailand). Selain itu bangsa-bangsa di kawasan Asia
Tenggara sudah lama menjalin hubungan baik. Ingat, dulu pernah berkembang dua
kerajaan besar yang menyatukan bangsa-bangsa di kawasan
ini yakni Kerajaan Sriwijaya (abad ke-5) yang berpusat di Palembang
dan Kerajaan Majapahit (± abad ke-7) yang berpusat di pulau Jawa. Bangsa-bangsa
di kawasan Asia Tenggara dewasa ini mayoritas juga sebagai negara berkembang
(kecuali Singapura).
b. Faktor
Kedekatan Geografis
Bagaimanapun,
wilayah negara-negara yang berada di kawasan Asia Tenggara, saling berdekatan
satu sama lain (perhatikan kembali peta negara-negara di kawasan Asia
Tenggara!). Karena itu demi terjaganya stabilitas pada masing-masing negara di
kawasan ini butuh jalinan kerja sama yang baik dan terus-menerus.
c. Faktor
Strategisnya Letak Kawasan
Sejak
dulu, kawasan Asia Tenggara menjadi jalur lalu-lintas internasional yang ramai.
Barangkali hal tersebut wajar, sebab letak kawasan ini memang strategis. Namun
demikian letak yang strategis ternyata mempunyai sisi positif dan negatif.
Sisi
positifnya mempercepat perkembangan di segala bidang kehidupan. Sementara
itu, sisi negatifnya terjadi berbagai jenis perselisihan atau sengketa
regional akibat perbedaan-perbedaan kepentingan masing-masing negara. Contoh
konkritnya, Indonesia dan Malaysia pernah mengalami ketegangan politik. Contoh
lain, antara Malaysia dan Filipina, juga Singapura, pernah dilanda perselisihan
(sengketa soal wilayah Sabah dan Serawak, di bagian utara Pulau Kalimantan).
Sisi
negatif yang lain? Letak kawasan yang strategis adalah negara-negara kawasan
Asia Tenggara rawan menjadi ajang persaingan kepentingan-kepentingan yang
datang dari luar. Selain itu, kawasan Asia yang strategis tersebut juga menjadi
rawan akan munculnya berbagai bentuk kemerosotan moral serta budaya.
Bentuk Kerja Sama Antarnegara
Dewasa
ini, kerja sama antarnegara dapat dibedakan menjadi beberapa bentuk.
Masing-masing
dari bentuk kerja sama tersebut adalah:
1. Kerja sama bilateral, yakni kerja
sama yang melibatkan dua negara. Contoh kerja sama antara Indonesia dan
Malaysia dalam pengiriman TKI (Tenaga Kerja Indonesia).
2. Kerja sama multilateral, yakni kerja
sama yang melibatkan beberapa/banyak negara. Contoh PBB (Perserikatan
Bangsa-Bangsa).
3. Kerja sama regional, yakni kerja
sama yang melibatkan beberapa negara dalam satu kawasan. Contohnya
ASEAN/Association of South East Asian Nations (Kerja sama antar bangsa-bangsa
di kawasan Asia Tenggara), Liga Arab (kerja sama antar bangsa-bangsa arab).
2. Organisasi
Formal Kerja Sama Negara-negara Asia Tenggara
Menyadari
berada dalam satu kawasan, bagaimanapun kerja sama antarnegara- negara Asia
Tenggara sangatlah penting. Akan tetapi, (sebelum tahun 1960-an) wadah atau
organisasi formal dari kerja sama tersebut belum terbentuk.
Lantas
bagaimana sejarah perjalanan pembentukan organisasi formal kerja sama
negara-negara Asia Tenggara? Mari kita simak uraian berikut:
a. ASA
(Asosiasi Asia Tenggara)
ASA
merupakan organisasi formal kerja sama Asia Tenggara yang pertama. Organisasi
ini didirikan pada tanggal 14 Juli 1961, dengan negara-negara anggota Malaysia,
Filipina, dan Thailand. Yang mengilhami pembentukan organisasi ini adalah
konferensi bersejarah negara-negara Asia-Afrika di Bandung tahun 1955.
b. ASEAN
(Association of South East Asian Nations)
Menyadari
keterbatasan jumlah anggota, Thanat Khoman (menteri luar negeri Thailand)
menggagas suatu kelompok yang lebih besar dari ASA. Thanat mengemukakan gagasan
tersebut dalam sebuah diskusi terbatas dengan beberapa menteri luar negeri
negara-negara Asia Tenggara pada pertengahan tahun 1966. Selanjutnya pada bulan
Mei tahun 1967 Thanat secara formal mengajukan gagasannya (dalam deklarasi
secara tertulis) kepada Tun Abdul Razak (Perdana Menteri Malaysia), dan
sebelumnya Adam Malik (Menteri Luar Negeri RI waktu itu) sudah mempelajarinya.
Pada
tanggal 8 Agustus 1967, lima Menteri Luar Negeri negara Asia Tenggara
mengadakan pertemuan di Bangkok Thailand. Kelima menteri luar negeri itu
adalah:
1. Adam Malik (Indonesia)
2. Narciso R. Ramos (Filipina)
3. Tun Abdul Razak (Malaysia)
4. S. Rajaratnam (Singapura)
5. Thanat Khoman (Thailand).
Dengan
demikian hingga saat ini ASEAN beranggotakan semua negara di Asia tenggara
(kecuali Timor Leste dan Papua Nugini). Berikut ini adalah negara-negara
anggota ASEAN:
1. Filipina (negara pendiri)
2. Indonesia (negara pendiri)
3. Malaysia (negara pendiri)
4. Singapura (negara pendiri)
5. Thailand (negara pendiri)
6. Brunei Darussalam (7 Januari
1984)
7. Vietnam (28 Juli 1995
8. Laos (23 Juli 1997)
9. Myanmar (23 Juli 1997)
10. Kamboja (30 April 1999)
Tujuan, Asas, dan Program ASEAN
Sebagai
sebuah organisasi kerja sama antarnegara (dalam satu kawasan) ASEAN memiliki
tujuan, asas, serta program. Uraian tentang tujuan, asas, serta program yang
dimaksud adalah:
1. Tujuan
dari pembentukan ASEAN
Tujuan
dari pembentukan ASEAN sebagaimana dalam Deklarasi Bangkok ada tujuh butir.
Tujuh
butir yang dimaksud dapat digarisbawahi sebagai berikut:
· mempercepat pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial, dan
perkembangan kebudayaan melalui usaha bersama dan dengan semangat kebersamaan;
·
meningkatkan perdamaian dan stabilitas regional;
· meningkatkan kerja sama dalam masalah yang menyangkut
kepentingan bersama bidang ekonomi, sosial, teknik, ilmu pengetahuan dan
administrasi;
· saling memberikan bantuan dalam bentuk sarana-sarana
pelatihan dan penelitian bidang pendidikan, profesi, teknik, dan administrasi;
· peningkatan pertanian, industri, dan memperluas bidang
perdagangan untuk meningkatkan taraf hidup;
· memajukan pengkajian mengenai Asia Tenggara; dan
· memelihara kerja sama yang erat serta bermanfaat, baik
terhadap organisasi internasional maupun regional lainnya.
2. Asas ASEAN
Asas dari (pembentukan) ASEAN
meliputi 6 hal, yakni:
·
saling menghormati kedaulatan kemerdekaan, persamaan derajat
dan identitas nasional semua bangsa;
·
hak hidup bebas setiap negara, bangsa, tidak ada campur
tangan pihak luar, subversi atau paksaan;
·
tidak mencampuri urusan dalam negeri negara lain;
·
penyelesaian sengketa dengan cara damai;
·
tidak melakukan ancaman atau kekerasan terhadap negara anggota
lain; dan
·
mengadakan kerja sama yang efektif di antara negara anggota.
3. Program
ASEAN
Dalam rangka mewujudkan tujuan
ASEAN, maka dilaksanakan beberapa program. Program-program tersebut antara lain
terdiri atas:
·
KTT (Konferensi Tingkat Tinggi), yakni pertemuan para kepala
pemerintahan negara-negara anggota ASEAN.
·
Sidang Tahunan para menteri luar negeri negara-negara
anggota ASEAN.
·
Sidang Tahunan para menteri ekonomi dan non ekonomi
negara-negara anggota ASEAN.
3. Bentuk Kerja Sama Negara-negara Asia Tenggara
Setelah
pembentukan ASEAN, bagaimana wujud nyata dari pelaksanaan kerja sama
negara-negara Asia Tenggara? Bentuk-bentuk kerja sama antara negara-negara Asia
Tenggara tersebut antara lain:
a. Bidang Ekonomi
Kerja sama
di bidang ekonomi negara-negara kawasan Asia Tenggara meliputi perdagangan
ekspor impor barang-barang mentah serta jadi, pengelolaan tanaman pangan dan
hutan, pendirian pabrik bersama, juga pengiriman tenaga kerja, dan masih banyak
lagi.
Tentang
proyek industri bersama juga telah diselenggarakan, antara lain:
·
Pendirian pabrik pupuk Urea di Indonesia (di Provinsi NAD).
·
Pendirian pabrik pupuk Urea di Malaysia.
·
Pendirian pabrik tembaga di Filipina.
· Pendirian pabrik diesel Marine di Singapura (dibatalkan,
sebab menjadi proyek nasional Singapura sendiri).
·
Proyek abu soda di Thailand.
·
Proyek Vaksin di Singapura.
b.
Bidang Politik dan Keamanan
Awalnya,
kerja sama negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) adalah di bidang ekonomi. Akan
tetapi karena tuntutan perkembangan situasi kawasan, akhirnya juga melibatkan
kerja sama politik dan keamanan.
Kerja sama
bidang politik dan keamanan ASEAN dimulai sejak pertemuan para menteri luar
negeri negara anggota ASEAN di Kuala Lumpur, tanggal 27 November 1971. Ketika
itu perang Vietnam sedang berkecamuk sengit. Selain itu negara-negara adikuasa
(Amerika, RRC, dan Uni Soviet) ikut bermain di balik pertikaian tersebut.
Dalam
pertemuan di Kuala Lumpur itu ditandatangani Deklarasi Kuala Lumpur.
Deklarasi tersebut berisi kesepakatan untuk menjadikan Asia Tenggara sebagai
kawasan yang damai, bebas, dan netral, atau biasa dikenal dengan ZOPFAN (Zone
of Peace, Freedom, and Neutrality).
Kerja sama
bidang politik dan keamanan ASEAN lebih ditegaskan lagi dalam KTT pertama di
Bali tanggal 23-25 Februari 1976. Dalam KTT tersebut menghasilkan Declaration
of ASEAN Concord yang salah satu isinya antara lain berupa penegasan tentang
keterikatan para negara anggota ASEAN untuk membina perdamaian, di samping
kemajuan dan kesejahteraan.
Contoh
hasil kerja sama negara-negara Asia Tenggara antara lain di bidang politik dan
keamanan antara lain meliputi:
· Penyelenggaraan kerja sama untuk menjaga stabilitas keamanan
kawasan wilayah Asia Tenggara.
· Pelepasan tuntutan kepemilikan atas wilayah Sabah oleh
Filipina kepada Malaysia (sebaliknya, Malaysia tidak boleh membantu para
gerilyawan Moro).
·
Mengadakan perjanjian ekstradisi (penyerahan pelarian yang
tertangkap kepada negara asal) antarnegara anggota ASEAN.
· Penandatanganan kesepakatan tentang Asia Tenggara sebagai
kawasan yang bebas senjata nuklir
c.
Bidang Sosial Budaya
Kerja sama
negara-negara ASEAN di bidang sosial dan budaya dilaksanakan oleh COSD (Committee
on Social Development). Kerja sama sosial budaya antarnegara Asia Tenggara di
antaranya meliputi:
·
Program peningkatan kesehatan (makanan dan obat-obatan).
·
Pertukaran budaya dan seni, juga festival film ASEAN.
·
Penandatanganan kesepakatan bersama di bidang pariwisata
ASEAN Tourism Agreement (ATA).
·
Penyelenggaraan pesta olahraga dua tahun sekali Sea-Games.
- Isu actual di Asia Tenggara
Tak dapat
disangkal, salah satu persoalan yang dapat memicu persengketaan antar negara
adalah masalah perbatasan. Indonesia juga menghadapi masalah ini, terutama
mengenai garis perbatasan di wilayah perairan laut dengan negara-negara
tetangga.
Bila
dicermati, banyak negara-negara di Asia Pasific juga menghadapi masalah yang
sama. Anggapan bahwa situasi regional sekitar Indonesia dalam tiga dekade ke
depan tetap aman dan damai, mungkin ada benarnya, namun di balik itu sebenarnya
bertaburan benih konflik, yang dapat berkembang menjadi persengketaan terbuka.
Faktor-faktor yang dapat menyulut persengketaan antar negara dimaksud antara
lain:
a.
Ketidaksepahaman mengenai garis
perbatas-an antar negara yang banyak yang belum tersele-saikan melalui
mekanisme perundingan (bilateral dan ).
b.
Peningkatan persenjataan dan
eskalasi kekuatan militer baik oleh negara-negara yang ada di kawa-san ini,
maupun dari luar kawasan.
c. Eskalasi aksi terorisme lintas
negara, dan gerakan separatis bersenjata yang dapat mengundang kesalahpahaman
antar negara bertetangga.
Dengan
melihat berbagai faktor di atas, beberapa pengamat politik menyimpulkan bahwa,
selain kawa-san Asia Tengah, Asia Timur dan Asia Tenggara, memiliki potensi
konflik yang cukup tinggi, dan hal itu tentu berdampak bagi Indonesia.
Potensi
konflik antar negara di sekitar Indonesia (kawasan Asia Pasific) sesungguhnya
sangat bervariasi. baik sifat, karakter maupun intensitasnya. Namun
memperhatikan beberapa konflik terbatas dan berinsentitas rendah yang terjadi
selama ini, terdapat beberapa hal yang dapat memicu terjadi-nya konflik terbuka
berintensitas tinggi yang dapat berkembang menjadi konflik regional bahkan
inter-nasional.
Faktor
potensial yang dapat menyulut per-sengketaan terbuka itu antara lain:
a.
Implikasi dari internasionalisasi
konflik internal di satu negara yang dapat menyeret negara lain ikut dalam
persengketaan.
b.
Pertarungan antar elite di suatu
negara yang karena berbagai faktor merambat ke luar negeri.
c.
Meningkatnya persaingan antara
negara-negara maju dalam membangun pengaruh di kawa-san ini. Konfliknya bisa
berwujud persengketaan antar sesama negara maju, atau salah negara maju dengan
salah satu negara yang ada di kawasan ini. Meski masih bersifat samar-samar,
namun indikasinya dapat dilihat pada ketidaksukaan Jepang terhadap RRC dalam
soal penggelaran militer di perairan Laut Cina Selatan yang dianggap menggangu
kepentingan nasional Jepang. Sedangkan dalam konteks Indonesia, ASEAN, dan
negara-negara maju, gejala serupa yang dilatarbelakangi oleh konflik kepentingan
(conflict of interesf) juga tercermin pada penolakan Amerika Serikat terhadap
usul Indonesia dan Malaysia mengenai pembentukan "Kawasan Bebas Nuklir
Asia Tenggara" (South East Asia Nuclear Free Zone) beberapa tahun lampau.
d.
Eskalasi konflik laten atau
konflik intensitas rendah (low intensity) antar negara yang berkem-bang
melampaui ambang batas toleransi keamanan regional sehingga menyeret pihak
ketiga terlibat didalamnya. Ini biasanya, bermula dan "dispute
territorial" antar negara terutama mengenai garis batas perbatasan antar
negara.
Sengketa Perbatasan
Hingga
saat ini banyak negara menghadap persoalan perbatasan dengan tetangganya yang
belum terselesaikan lewat perundingan. Bahkan kebiasaan menunda penyelesaian
masalah justru menambah rumit persoalan. Beberapa persoalan perbatasan dan
"dispute territorial" yang cukup mengusik harmonisasi antar negara
maupun ke-amanan kawasan, antara lain;
a.
Sengketa Indonesia dan Malaysia
mengenai garis perbatasan di perairan laut Sulawesi menyusul perubahan status
kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan, dan garis perbatasan di pulau Kalimantan
(salah satunya mengenai blok Ambalat);
b.
Perbedaan pendapat dan
kepentingan antara Indonesia, Australia dan Timor Leste di perairan Celah
Timor;
c.
Konflik historis antara Malaysia
dan Filipina mengenai klaim Filipina atas wilayah Kesultanan Sabah Malaysia
Timur;
d.
Konflik antara Malaysia dan
Singapura tentang pemilikan Pulau Batu Putih (Pedra Branca) di Selat Johor;
e.
Ketegangan sosial politik laten
Malaysia dan Thailand di wilayah perbatasan;
f.
Perbedaan pendapat antara
Malaysia dan Brunei mengenai batas wilayah tak bertanda di daratan Sarawak
Malaysia Timur serta batas wilayah perairan Zona Ekonomi Eksklusif;
g.
Perbedaan pendapat antara
Malaysia dan Vietnam mengenai batas wilayah di perairan lepas pantai dari
masing-masing negara;
h.
Konflik berlarut antara Myanmar
dan Bangladesh di wilayah perbatasan;
i.
Ketegangan antara Myanmar dan
Cina mengenai batas wilayah kedua negara;
j.
Sengketa Myanmar dan Thailand,
mengenai perbatasan ke dua negara;
k.
Sengketa berlaRut antara Cina
dengan India mengenai perbatasan kedua negara;
l.
Konflik antara Vietnam dan
Kamboja di wilayah perbatasan kedua negara;
m.
Sengketa antara Cina dan Vietnam
tentang pemilikan wilayah perairan di sekitar Kepulauan Paracel;
n.
Konflik laten antara Cina di satu
pihak dengan Indonesia, Malaysia, Brunei, Filipina, Vietnam di lain pihak
sehubungan klaim cina atas seluruh perairan Laut Cina Selatan;
o.
Konflik intensitas rendah (Low
intensity) antara Cina dengan Filipina, Vietnam dan Taiwan mengenai status
pemilikan wilayah perairan Kepulauan Spratly;
p.
Konflik antara Cina dengan Jepang
mengenai pemilikan Kepulauan Senaku (Diaoyutai);Sengketa antara Cina dengan
Korea Selatan mengenai pemilikan
q.
Liancourt Rocks (Take-shima atau
Tak do) dibagian selatan laut Jepang;
r.
Konflik antara Cina dengan Korea
Selatan mengenai batas wilayah perairan teritorial;
s.
Sengketa berlarut antara Rusia
dengan Jepang mengenai status pemilikan Kepulauan Kuril Selatan;
t.
Sengketa antara Cina dengan
Taiwan sehubungan rencana reunifikasi seluruh wilayah Cina oleh RRC;
u.
Sengketa India dan Pakistan
mengenai status wilayah Kashmir.
Memperhatikan
anatomi persengketaan di atas, maka tampak sebagian besar terjadi pada garis
per-batasan di perairan laut.
Indonesia dan Kepentingan Internasional
Indonesia
tentu patut mewaspadai perkembangan yang terjadi di sekitarnya terutama di
ka-wasan Asia Pasific. Sebab konsekuensi letak geo-grafis Indonesia
dipersilangan jalur lalulintas internasional, maka setiap pergolakan berapa pun
kadar intensitas pasti berpengaruh terhadap Indonesia. Apalagi jalur suplai
kebutuhan dasar terutama minyak beberapa negara melewati perairan Indonesia.
Jalur pasokan minyak dari Timur Tengah dan Teluk Persia ke Jepang dan Amerika
Serikat, misalnya, sekitar 70% pelayarannya melewati perairan Indonesia.
Karenanya sangat wajar bila berbagai negara berkepentingan mengamankan jalur
pasokan minyak ini, termasuk di perairan nusantara, seperti, Selat Malaka,
Selat Sunda, Selat Lombok, Selat Makasar, Selat Ombai Wetar, dan lain-lain.
Pasukan
Beladiri Jepang secara berkala dan teratur mengadakan latihan operasi jarak
jauh untuk mengamankan area yang mereka sebut sebagai "life line,"
yakni, radius sejauh 1000 mil laut hingga menjangkau perairan Asia Tenggara.
Hal yang sama juga dilakukan Cina, Australia, India, termasuk mengantisipasi
kemungkinan terjadi penutupan jalur-jalur vital tersebut oleh negara-negara di
sekitarnya (termasuk Indonesia.)
Keberadaan
Indonesia dipersilangan jalur pelayaran strategis, memang selain membawa
keberuntungan juga mengandung ancaman. Sebab pasti dilirik banyak negara.
Karena itu sangat beralasan bila beberapa negara memperhatikan dengan cermat
setiap perkembangan yang terjadi di Indonesia. Australia misalnya, sangat
kuatir bila Indonesia mengembangkan kekuatan angkatan laut, yang pada
gilirannya dapat memperketat pengendalian efektif semua jalur pelayaran di
perairan nusantara.
Patut
diingat, penetapan sepihak selat Sunda dan selat Lombok sebagai perairan
internasional oleh Indonesia secara bersama-sama ditolak oleh Ameri-ka Serikat,
Australia, Canada, Jerman, Jepang, Ing-gris dan Selandia Baru. Tentu apabila
dua selat ini menjadi perairan teritorial Indonesia, maka semua negara yang
melintas di wilayah perairan ini harus tunduk kepada hukum nasional Indonesia,
tanpa mengabaikan kepentingan internasional.
Hal yang
patut dicermati adalah kenyataan bahwa wilayah Indonesia yang saat ini terbelit
konflik sosial berkepanjangan (manifes maupun latent) umumnya adalah daerah
yang berada dijalur pelayaran internasional, seperti, Bali, Lombok, Maluku,
Maluku Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Riau, Aceh, Papua dan
lain-lain. Kenyataan ini patut diwaspadai karena tak tertutup kemungkinan
adanya pihak luar yang bermain di dalam konflik yang terjadi di beberapa daerah
ini. Selain itu sebab jika Indonesia gagal mengatasinya, dan konflik yang
terjadi berkembang menjadi ancaman bagi keselamatan pelayaran internasional,
maka berdasarkan keten-tuan internasional, negara asing diperbolehkan
menu-runkan satuan militernya di wilayah itu demi menjaga kepentingan dunia.
Dalam
rangka pengamanan jalur-jalur strategis tersebut, sejumlah negara maju secara
bersama-sama telah membentuk satuan reaksi cepat yang disebut "Stand By
High Readness Brigade" (SHIRBRIG) berkekuatan 4000 personil yang selalu
siap digerakkan ke suatu target sebagai "muscular peace keeping
force."
Indonesia dan Asean
Selain
terkait dengan kepentingan internasional (baca: negara-negara maju), Indonesia
sebenarnya menghadapi beberapa persoalan latent dengan sesama negara anggota
Asean. Penyebabnya selain karena perbedaan kepentingan masing negara yang tak
dapat dipertemukan, juga karena berbagai sebab lain yang muncul sebagai akibat
dinamika sosial politik dimasing-masing negara. Indonesia, Malaysia, Thailand,
dan Filipina, mungkin saja bisa bekerjasama dalam mengatasi persoalan aksi
terorisme di kawa-san ini. Namun, sikap masing-masing negara tentu akan berbeda
dalam soal tenaga kerja illegal, illegal loging, pelanggaran batas wilayah
dalam penangkapan ikan, dan sebagainya.
Hal yang
sama juga bisa terjadi dengan Singa-pura dalam soal pemberantasan korupsi,
penyelundupan dan pencucian uang. Sedangkan dengan Ti-mor Leste masalah
pelanggaran hak asasi manusia dimasa lampau dan lalulintas perbatasan kerap
masih jadi ganjalan bagi harmonisasi hubungan kedua negara.
Mengenai
pengendalian pelayaran di kawasan Asia Tenggara, hingga kini Singapura tetap
keras menolak usulan Indonesia untuk mengalihkan seba-gian lalu lintas
pelayaran kapal berukuran besar dari Selat Malaka ke Selat Lombok/Selat
Makasar. Padahal jalur pelayaran di selat ini tidak hanya diper-gunakan untuk
armada niaga tetapi juga bagi kapal perang. Dan Indonesia tentu ikut terganggu
bila ka-pal-kapal perang dari dua negara yang sedang bertikai berpapasan di
perairan Indonesia.
Dalam
satu dekade terakhir tampak adanya upaya beberapa negara Asean telah
melipatgandakan kekuatan militernya. Terutama Angkatan Laut dan Angkatan Udara.
Dari
beberapa data tampak bahwa dalam aspek persenjataan, Thailand menunjukkan
peningkatan yang signifikan diantara negara-negara di Asia Teng-gara. Untuk
memperkuat angkatan laut, misalnya negara gajah putih ini telah memiliki kapal
perang canggih, dan siap beroperasi hingga sejauh di atas 200-300 mil demi
mengamankan kepentingan negaranya. Tentu, termasuk menjaga keselamatan nelayan
Thailand yang banyak beroperasi di perairan teritorial Indonesia.
Malaysia
juga tak ketinggalan menambah armada perangnya. Angkatan Tentara Laut Diraja
Malaysia, setidaknya dengan memiliki beberapa freegat dan korvet baru. Dengan
penambahan kekuatan, kedua negara tersebut sangat berpeluang jadi mitra
negara-negara maju demi mengimbangi Indonesia dalam soal pengamanan kawasan
Asia Tenggara.
Dengan berbagai perkembangan itu,
maka tantangan Indonesia dalam aspek pertahanan dan keamanan negara jadi berat.
Indonesia selain dituntut mampu mempertahankan keamanan dalam negerinya, juga
mesti dapat memainkan peran yang berarti demi terpeliharanya keamanan regional
di Kawasan Asia Pasific. Padahal disisi lain, kekuatan elemen pertahanan dan
keamanan Indonesia tidak dalam kondisi prima. Baik dari aspek kemampuan sumber
daya manusianya maupun dari segi kesiapan materil dan dukungan finansial.
Inilah kondisi dilematis yang dihadapi Indonesia dewasa ini yang patut segera
dicari jalan keluarnya.
- Terorisme
a.
Gelombang Terorisme Internasional
Sesungguhnya
sulit merumuskan defenisi terorisme secara pas, sebab didalamnya menyangkut
berbagai aspek keilmuan, dari sosiologi, kriminologi, politik, hukum,
psikologi, dan ilmu-ilmu lainnya. Zuhairi Misrowi (2002) mengemukakan bahwa
Terorisme sebagai sebuah paham yang tumbuh dan berkembang di dunia, baik dulu
maupun yang mutakhir.
Terorisme selalu identik dengan teror, kekerasan, ekstrimitas dan intimidasi. Para pelakunya biasa disebut sebagai teroris. Karena itu, terorisme sebagai paham yang identik dengan teror seringkali menimbulkan konsekuensi negatif bagi kemanusiaan. Terorisme kerap menjatuhkan korban kemanusiaan dalam jumlah yang tak terhitung.
Konvensi PBB 1937 mendefenisikan Terorisme sebagai segala bentuk tindak kejahatan yang ditujukan langsung kepada negara dengan maksud menciptakan bentuk teror terhadap orang-orang tertentu atau kelompok orang atau masyarakat luas. David C Rapoport (1989), pendiri jurnal ilmiah Terorism and Political Violance, dalam The Morality of Terorism membagi terror dalam tiga kategori, yakni (1) Religious terror, (2) State terror, dan (3) Rebel terror. Religious Terror masuk kategori teror suci dan dua jenis teror berikutnya masuk kategori teror sekuler.
David C Rapoport mendefenisikan teror sekuler sebagai aksi teror yang dimotivasi oleh tujuan-tujuan politik dan kekuasaan. Teror sekuler akan mengundang simpati selama tujuannya memiiliki semangat kerakyatan. Namun dalam sejarahnya, teror sekuler tidak menumbuhkan antusiasme yang tinggi seperti teror suci. Sebab, teror sekuler lebih banyak berkisar pada upaya merebut kekuasaan sehingga kepentingan yang terlihat bersifat elitis. Sedangkan teror suci dimotivasi oleh nilai-nilai keagamaan yang luhur.
Baik teror suci maupun teror sekuler dilihat dari pelakunya bisa dikategorikan dalam tiga kelompok terorism yakni personal terorism, collective terorism, dan state terorism. Penggunaan terma teror suci hanya dalam tataran akademik, dalam dunia keagamaan masing-masing memiliki terma sendiri, seperti Jihad (Islam), crusade war (Kristen), dan sebagainya.
Terorisme selalu identik dengan teror, kekerasan, ekstrimitas dan intimidasi. Para pelakunya biasa disebut sebagai teroris. Karena itu, terorisme sebagai paham yang identik dengan teror seringkali menimbulkan konsekuensi negatif bagi kemanusiaan. Terorisme kerap menjatuhkan korban kemanusiaan dalam jumlah yang tak terhitung.
Konvensi PBB 1937 mendefenisikan Terorisme sebagai segala bentuk tindak kejahatan yang ditujukan langsung kepada negara dengan maksud menciptakan bentuk teror terhadap orang-orang tertentu atau kelompok orang atau masyarakat luas. David C Rapoport (1989), pendiri jurnal ilmiah Terorism and Political Violance, dalam The Morality of Terorism membagi terror dalam tiga kategori, yakni (1) Religious terror, (2) State terror, dan (3) Rebel terror. Religious Terror masuk kategori teror suci dan dua jenis teror berikutnya masuk kategori teror sekuler.
David C Rapoport mendefenisikan teror sekuler sebagai aksi teror yang dimotivasi oleh tujuan-tujuan politik dan kekuasaan. Teror sekuler akan mengundang simpati selama tujuannya memiiliki semangat kerakyatan. Namun dalam sejarahnya, teror sekuler tidak menumbuhkan antusiasme yang tinggi seperti teror suci. Sebab, teror sekuler lebih banyak berkisar pada upaya merebut kekuasaan sehingga kepentingan yang terlihat bersifat elitis. Sedangkan teror suci dimotivasi oleh nilai-nilai keagamaan yang luhur.
Baik teror suci maupun teror sekuler dilihat dari pelakunya bisa dikategorikan dalam tiga kelompok terorism yakni personal terorism, collective terorism, dan state terorism. Penggunaan terma teror suci hanya dalam tataran akademik, dalam dunia keagamaan masing-masing memiliki terma sendiri, seperti Jihad (Islam), crusade war (Kristen), dan sebagainya.
Jika
merujuk defenisi dan kategori pelaku terorisme khususnya yang disampaikan oleh
David C Rapoport dan mengamati sejarah masa lalu, maka terorisme sesungguhnya
ada dihampir setiap periode sejarah manusia sejak masa Nabi Adam hingga kini
dan mungkin masih akan terus ada hingga masa mendatang. Namun jika kita
melihatnya dari segi jumlah korban jiwa dan pengaruhnya pada dunia maka
terorisme bisa dicatat dalam penggalan-penggalan abad, sejak abad ke 5 masehi
hingga kini.
Periode pertama dimulai dimana di abad ke 5 ini dunia mencatat serangan terorisme terhebat yang mampu meruntuhkan kekaisaran Romawi Barat pada 476 Masehi. Teroris yang meruntuhkan kekaisaran Romawi Barat ini berasal dari suku Jerman bernama Odoacer. Setelah itu periode ”perang salib” memasuki periode dimana agama pada tingkat elit politik dijadikan sebagai spirit bagi lahirnya state terrorism. Penggalan sejarah terorisme lainya yang memiliki pengaruh besar dunia (kategori collective terrorism dan state terrorism) yakni terjadi pada abad ke 18 M.
Puluhan tahun setelah Revolusi Industri di Inggris tahun 1763 M , di Perancis meletus peristiwa Revolusi pada 1789 M. Usai Revolusi, kemudian terjadi state terrorism yang mengerikan yang dilancarkan oleh Maxmilian Robespierre dengan melakukan kegiatan penangkapan dan pembunuhan terhadap siapapun yang dianggap anti-revolusi. Ribuan jiwa disinyalir berguguran pada masa itu. Sebelum kemudian Napoleon Bonaparte mengambil alih kekuasaan dan kembali menyatukan Perancis dalam bingkai negara kekaisaran modern.
Dalam penggalan sejarah usai Revolusi Industri di Inggris sesungguhnya dunia dilanda terrorisme global yakni terjadinya penjajahan dari negara-negara Eropa yang menyebar keseluruh penjuru dunia atas nama kepentingan industri dan modernisasi. Pada periode ini ratusan bahkan jutaan nyawa manusia berguguran akibat state terorisme yang dilakukan kaum kolonial ini.
Periode Terorisme kemudian terjadi pada awal abad 20 yakni dari Personal Terrorism yang dilakukan Gavrilo Principe (anggota teroris Serbia) yang menembak mati Archduke Franz Ferdinad pewaris tahta kerajaan Austria-Hongaria pada 28 Juni 1914. Peristiwa ini yang kemudian mendorong terjadinya Perang Dunia I selain faktor idiologi Cahuvinisme dan militerisme yang berkembang pesat saat itu.
Dalam konteks ini Perang Dunia I adalah state terrorism modern yang dilakukan berbasiskan idiologi. Pada dekade ini aksi terorisme sebenarnya diidentikkan sebagai bagian dari gerakan sayap kiri yang berbasiskan idiologi, khususnya komunisme. Disinilah colective terrorism yang berbasis idiologi menemukan bentuknya yang paling radikal, sebab menjelang usai Perang Dunia I, terjadi peristiwa besar di Rusia, yakni peritiwa apa yang disebut Revolusi Bolsevic pada 1917.
Fenomena terorisme berbasis idiologi ini terus berkembang hingga masa Perang Dunia II (Fascisme, Naziisme dan Militerisme) dan sesudahnya dalam bentuk idiologi yang terus berkembang, khususnya munculnya aksi-aksi terorisme yang dimotori Zionisme Israel sejak 1936. Hingga saat kemunculan Zionisme di Timur Tengah, ideologi ini tidak mendatangkan apapun selain pertikaian dan penderitaan.
Dalam masa di antara dua perang dunia, berbagai kelompok teroris Zionis melakukan serangan berdarah terhadap masyarakat Arab dan Inggris. Di tahun 1948, menyusul didirikannya negara Israel, strategi perluasan wilayah Zionisme telah menyeret keseluruhan Timur Tengah ke dalam kekacauan. Berdirinya negara Zionis Israel di tanah Palestina itu tentu saja dengan tumbal darah dan tangis bangsa Palestina yang terusir dari tanah airnya. Pertumpahan darah di Palestina ini merupakan konflik berdarah terpanjang didunia hingga saat ini. Dalam konteks terorisme, diwilayah Palestina inilah Terorisme Zionisme menunjukkan kekejamannya hingga saat ini yang kemudian melahirkan tindakan balasan dalam bentuk terorisme pula.
Perkembangan Terorisme di abad 21 bergerak makin misterius meski indikasi-indikasi idiologis bisa dicermati secara konspiratif dengan kepentingan-kepentingan ekonomi global. Dipicu oleh tragedi WTC 11 september 2001, perkembangan terorisme abad 21 ini mewujud dalam bentuknya yang beragam, dari personal terrorism, collective terrorism, hingga state terrorism.
Fenomena tragedi WTC, Invasi AS ke Afganistan dan Iraq, serta bom bunuh diri di Bali-Indonesia. Jika dilihat dari latar belakangnya juga beragam , dari latar belakang idiologis, ekonomis agama, hingga politis yang terangkum dalam satu kata kunci “ketidakadilan global”. Ketidakadilan global nampaknya menjadi pemicu utama munculnya terorisme baru di awal abad 21 ini. Isu terorisme semakin populer ketika gedung World Trade Centre (WTC) New York yang merupakan simbol kapitalisme dan liberalisme dunia runtuh pada 11 September 2001.
Periode pertama dimulai dimana di abad ke 5 ini dunia mencatat serangan terorisme terhebat yang mampu meruntuhkan kekaisaran Romawi Barat pada 476 Masehi. Teroris yang meruntuhkan kekaisaran Romawi Barat ini berasal dari suku Jerman bernama Odoacer. Setelah itu periode ”perang salib” memasuki periode dimana agama pada tingkat elit politik dijadikan sebagai spirit bagi lahirnya state terrorism. Penggalan sejarah terorisme lainya yang memiliki pengaruh besar dunia (kategori collective terrorism dan state terrorism) yakni terjadi pada abad ke 18 M.
Puluhan tahun setelah Revolusi Industri di Inggris tahun 1763 M , di Perancis meletus peristiwa Revolusi pada 1789 M. Usai Revolusi, kemudian terjadi state terrorism yang mengerikan yang dilancarkan oleh Maxmilian Robespierre dengan melakukan kegiatan penangkapan dan pembunuhan terhadap siapapun yang dianggap anti-revolusi. Ribuan jiwa disinyalir berguguran pada masa itu. Sebelum kemudian Napoleon Bonaparte mengambil alih kekuasaan dan kembali menyatukan Perancis dalam bingkai negara kekaisaran modern.
Dalam penggalan sejarah usai Revolusi Industri di Inggris sesungguhnya dunia dilanda terrorisme global yakni terjadinya penjajahan dari negara-negara Eropa yang menyebar keseluruh penjuru dunia atas nama kepentingan industri dan modernisasi. Pada periode ini ratusan bahkan jutaan nyawa manusia berguguran akibat state terorisme yang dilakukan kaum kolonial ini.
Periode Terorisme kemudian terjadi pada awal abad 20 yakni dari Personal Terrorism yang dilakukan Gavrilo Principe (anggota teroris Serbia) yang menembak mati Archduke Franz Ferdinad pewaris tahta kerajaan Austria-Hongaria pada 28 Juni 1914. Peristiwa ini yang kemudian mendorong terjadinya Perang Dunia I selain faktor idiologi Cahuvinisme dan militerisme yang berkembang pesat saat itu.
Dalam konteks ini Perang Dunia I adalah state terrorism modern yang dilakukan berbasiskan idiologi. Pada dekade ini aksi terorisme sebenarnya diidentikkan sebagai bagian dari gerakan sayap kiri yang berbasiskan idiologi, khususnya komunisme. Disinilah colective terrorism yang berbasis idiologi menemukan bentuknya yang paling radikal, sebab menjelang usai Perang Dunia I, terjadi peristiwa besar di Rusia, yakni peritiwa apa yang disebut Revolusi Bolsevic pada 1917.
Fenomena terorisme berbasis idiologi ini terus berkembang hingga masa Perang Dunia II (Fascisme, Naziisme dan Militerisme) dan sesudahnya dalam bentuk idiologi yang terus berkembang, khususnya munculnya aksi-aksi terorisme yang dimotori Zionisme Israel sejak 1936. Hingga saat kemunculan Zionisme di Timur Tengah, ideologi ini tidak mendatangkan apapun selain pertikaian dan penderitaan.
Dalam masa di antara dua perang dunia, berbagai kelompok teroris Zionis melakukan serangan berdarah terhadap masyarakat Arab dan Inggris. Di tahun 1948, menyusul didirikannya negara Israel, strategi perluasan wilayah Zionisme telah menyeret keseluruhan Timur Tengah ke dalam kekacauan. Berdirinya negara Zionis Israel di tanah Palestina itu tentu saja dengan tumbal darah dan tangis bangsa Palestina yang terusir dari tanah airnya. Pertumpahan darah di Palestina ini merupakan konflik berdarah terpanjang didunia hingga saat ini. Dalam konteks terorisme, diwilayah Palestina inilah Terorisme Zionisme menunjukkan kekejamannya hingga saat ini yang kemudian melahirkan tindakan balasan dalam bentuk terorisme pula.
Perkembangan Terorisme di abad 21 bergerak makin misterius meski indikasi-indikasi idiologis bisa dicermati secara konspiratif dengan kepentingan-kepentingan ekonomi global. Dipicu oleh tragedi WTC 11 september 2001, perkembangan terorisme abad 21 ini mewujud dalam bentuknya yang beragam, dari personal terrorism, collective terrorism, hingga state terrorism.
Fenomena tragedi WTC, Invasi AS ke Afganistan dan Iraq, serta bom bunuh diri di Bali-Indonesia. Jika dilihat dari latar belakangnya juga beragam , dari latar belakang idiologis, ekonomis agama, hingga politis yang terangkum dalam satu kata kunci “ketidakadilan global”. Ketidakadilan global nampaknya menjadi pemicu utama munculnya terorisme baru di awal abad 21 ini. Isu terorisme semakin populer ketika gedung World Trade Centre (WTC) New York yang merupakan simbol kapitalisme dan liberalisme dunia runtuh pada 11 September 2001.
Peristiwa
yang memalukan bagi bangsa Amerika tersebut mendorong mereka untuk menyatakan
perang terhadap terorisme. Amerika meyakini bahwa Al-Qaeda berada dibalik
serangan tersebut. Perang terhadap Al-Qaeda dan jaringannya ini menyedot
perhatian dunia yang amat luar biasa hingga melibatkan ratusan negara dalam
misi pengejaran kelompok teroris tak terkecuali negara-negara di Asia Tenggara.
Dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa gerakan terorisme tidaklah vakum. David C Rapoport menjelaskannya dalam empat gelombang teori dari terorisme internasional modern yaitu anarkhis, nasionalis, sayap kiri, dan yang terakhir gelombang agama. Kebanyakan kelompok-kelompok teroris akan menghilang secara bertahap, tetapi ada juga sebagian yang bertahan lama.
Dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa gerakan terorisme tidaklah vakum. David C Rapoport menjelaskannya dalam empat gelombang teori dari terorisme internasional modern yaitu anarkhis, nasionalis, sayap kiri, dan yang terakhir gelombang agama. Kebanyakan kelompok-kelompok teroris akan menghilang secara bertahap, tetapi ada juga sebagian yang bertahan lama.
b.
Isu Jamaah Islamiah dan Jihad di
Asia Tenggara
Penumpasan
DI TII di Indonesia tidak dilakukan secara tuntas. Akibatnya ideologi-ideologi
yang menginginkan adanya suatu Negara Islam Indonesia terus berlanjut menjadi
paham islam radikal hingga saat ini yang menjadi cikal bakal terorisme di
Indonesia. Hijrahnya Abdullah Sungkar dari NII mendirikan organisasi yang
dinamakan Jamaah Islamiyah (JI) dan berkembang sampai Asia Tenggara.
Beberapa artikel menyebutkan bahwa pada tahun 1985 Abdullah Sungkar bersama Abu Bakar Bakar Ba’syir disarankan oleh Osama Bin Landen, dalam pertemuan ketika hangatnya perlawanan afganistan terhadap Uni Soviet, untuk membentuk dan mengembangakan organisasi jamaah islamiyah di Asia Tengara.
Akhirnya Asia Tenggara menjadi basis perkembangan organisasi jamaah islamiyah atau islam radikal. Hal tersebut dikarenakan jumlah penduduk islam di Asia Tenggara merupakan salah satu kawasan yang mempunyai jumlah muslim terbesar didunia, diataranya seperti di Indonesia dan Malaysia, serta komunitas kecil yang tersebar di Filipina, Thailand, dan lain lain.
Scott B McDonald dan Jonathan Lemco ( 2002) mengemukakan dua presfektif perkembangan islam radikal atau jaringan jamaah isalmiyah di asia Tengara. Pertama, Kekuatan Islam adalah kekuatan destruktif yang potensial menunjuk pada beragam Islam radikal, baik yang berhubungan dengan al-qaeda maupun tidak, yang tealah berkembang di Indonesia, Filipina, Singapura, Malaysia, dan kelompok Abu sayyaf merupakan bentuk nyata bahaya yang menangancam keamanaan negara Asia Tenggara dan juga negara Amerika Serikat. Hal tersebut berkembang menurut Scott B McDonald dan Jonathan Lemco karena kurang tugas dan efektifnya, sehingga kelompok islam radikal dapat “ mendestabilisasi” wilayah asia tenggara, dalam mengembangkan organisasi jamaah islamiyah.
Kedua, Presfektif yang berlawanan dengan yang pertama yaitu pandangan bahwa sebagian besar muslim di Asia Tenggara tidak akan mendukung Islam radikal. Namun mereka berkembang karena jiwa tertekan, keputusasaan, mereka anggap telah menyudutkan islam, sehingga semakin kuatnya jamaah islamiyah di Asia tenggara, sebagai bentuk perlawanan terhadap negara Amerika khususnya dan negara-negara barat lainnya yang memusuhi islam.
Serangan Amerika Serikat ke Afganistan yang telah menewaskan sejumlah orang tak berdosa telah menggerakan mereka untuk mengangkat senjata sebagai kelompok militan atau laskar jihad untuk menebar aksi teror terhadap fasilitas Amerika dan sekutunya di seluruh dunia termasuk yang berada di Asia tenggara dan di Indonesia.
Beberapa artikel menyebutkan bahwa pada tahun 1985 Abdullah Sungkar bersama Abu Bakar Bakar Ba’syir disarankan oleh Osama Bin Landen, dalam pertemuan ketika hangatnya perlawanan afganistan terhadap Uni Soviet, untuk membentuk dan mengembangakan organisasi jamaah islamiyah di Asia Tengara.
Akhirnya Asia Tenggara menjadi basis perkembangan organisasi jamaah islamiyah atau islam radikal. Hal tersebut dikarenakan jumlah penduduk islam di Asia Tenggara merupakan salah satu kawasan yang mempunyai jumlah muslim terbesar didunia, diataranya seperti di Indonesia dan Malaysia, serta komunitas kecil yang tersebar di Filipina, Thailand, dan lain lain.
Scott B McDonald dan Jonathan Lemco ( 2002) mengemukakan dua presfektif perkembangan islam radikal atau jaringan jamaah isalmiyah di asia Tengara. Pertama, Kekuatan Islam adalah kekuatan destruktif yang potensial menunjuk pada beragam Islam radikal, baik yang berhubungan dengan al-qaeda maupun tidak, yang tealah berkembang di Indonesia, Filipina, Singapura, Malaysia, dan kelompok Abu sayyaf merupakan bentuk nyata bahaya yang menangancam keamanaan negara Asia Tenggara dan juga negara Amerika Serikat. Hal tersebut berkembang menurut Scott B McDonald dan Jonathan Lemco karena kurang tugas dan efektifnya, sehingga kelompok islam radikal dapat “ mendestabilisasi” wilayah asia tenggara, dalam mengembangkan organisasi jamaah islamiyah.
Kedua, Presfektif yang berlawanan dengan yang pertama yaitu pandangan bahwa sebagian besar muslim di Asia Tenggara tidak akan mendukung Islam radikal. Namun mereka berkembang karena jiwa tertekan, keputusasaan, mereka anggap telah menyudutkan islam, sehingga semakin kuatnya jamaah islamiyah di Asia tenggara, sebagai bentuk perlawanan terhadap negara Amerika khususnya dan negara-negara barat lainnya yang memusuhi islam.
Serangan Amerika Serikat ke Afganistan yang telah menewaskan sejumlah orang tak berdosa telah menggerakan mereka untuk mengangkat senjata sebagai kelompok militan atau laskar jihad untuk menebar aksi teror terhadap fasilitas Amerika dan sekutunya di seluruh dunia termasuk yang berada di Asia tenggara dan di Indonesia.
c.
Internet Sebagai Sarana
Internet adalah sarana komunikasi berbasis komputer yang menawarkan realitas baru berbentuk virtula, namun seolah-olah kita merasakan hal yang nyata (Pertus Golose : 2006). Internet lahir sebagai bentuk perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang yang mempunyai dua fungsi kontrovesial, yaitu fungsi positif sebagai khasanah ilmu pengetahuaan berupa informasi, berita aktual, dan layanan transaksi perbankan dan sejumlah bisnis lainnya. Sedangkan fungsi negatif ketika internet tersebut menjadi pengayaan ilmu pengetahuan jatuh terhadap orang yang salah, artinya pengetahuan teknologi tersebut digunakan sebagai bentuk lain dari kejahatan , seperti dalam pembobolan ATM, Penyebaran Virus, termasuk penggunaan website atau situs untuk menyebarkan faham, ideologi, rencana penyerangan terorisme.
Kelompok teroris memanfaatkan internet ini dalam usaha penyerangan dan penanaman paham ideologinya dan mendukung sederetan aksi terornya dan memanfaatkan internet sebagai media koordinasi dan komunikasi.
Pertumbuhan penggunaan internet oleh kelompok ekstrimis Asia Tenggara terus meningkat. Laporan dari Australian Strategic Policy Institute dan S Rajaratnam School of International Studies menjelaskan bahwa Saat ini kelompok-kelompok yang sering dituding Barat sebagai teroris ini gencar menggunakan internet, khususnya situs jejaring sosial untuk merekrut anggota baru.
Pertumbuhan tersebut seiring dengan meledaknya internet di Asia Tenggara sejak tahun 2000 (Berita Okezone, Sabtu 7 Maret 2009). Kedua lembaga tersebut lebih lanjut menjelaskan bahwa internet semakin berkembang digunakan oleh kelompok teroris sebagai alat penting untuk merekrut anggota guna melakukan berbagai aksi kekerasan. Jumlah situs-situs yang dituding milik kelompok radikal, baik dalam bahasa Indonesia dan bahasa Melayu meningkat drastis. Pada tahun 2007, situs yang dituduh berbau radikal hanya 15 situs, namun pada tahun 2008 meningkat menjadi 117 situs. Situs-situs tersebut digunakan untuk melakukan propaganda melalui video, gambar, atau pernyataan-pernyataan lewat internet.
Internet juga digunakan sebagai sarana komunikasi oleh kelompok-kelompok teroris. Selain dinilai aman mereka juga tidak mau mengambil resiko tertangkap karena menggunakan surat dan pengiriman melalui pos atau jasa pengiriman yang ada. Menyikapi keadaan ini seharusnya negara-negara di Asia Tenggara bersatu untuk memerangi gerakan radikalisasi melalui internet ini. Sayangnya di sejumlah negara Asia Pasifik belum terdapat peraturan yang spesifik yang dapat menyentuh dunia maya.
d.
Kerjasama antarnegara dan
antardepartemen
Terorisme merupakan ancaman keamanan yang nyata. Masyarakat sangat dirugikan oleh kejahatan terorisme yang terjadi. Masih teringat rentetan kejahatan terorisme berupa peledakan bom yang terjadi di Indonesia yang sangat merugikan negara mulai dari sektor ekonomi, pariwisata, dan yang paling signifikan adalah meneror rasa keamanan masyarakat.
Terorisme yang merupakan kategori kejahatan transnasional dalam perkembangannya bukan lagi merupakan ancaman satu negara saja. Globalisasi yang merupakan sebuah gerakan sosial yang tumbuh karena meningkatnya interkonektifitas antar manusia di seluruh permukaan bumi mengakibatkan semakin memudarnya batas-batas negara. Perkembangan telekomunikasi, khususnya internet, migrasi penduduk dan terutama globalisasi menjadi pendorong perkembangan transnasionalisme ini.
Penanganan atas terorisme ini harus betul-betul dilaksanakan secara serius. Struktur dan karakteristik nya yang biasanya terorganisir sehingga sulit untuk dibongkar dengan pendekatan penyelidikan hukum semata tentunya tidak dapat hanya dilakukan sendiri oleh aparat penegak hukum (kepolisian) sendiri. Dibutuhkan kerjasama seluruh komponen baik dalam dan luar negeri dalam penanganan kejahatan terorisme ini.
Karakteristiknya yang cenderung melibatkan jaringan-jaringan di beberapa negara mengakibatkan perlunya kerjasama regional dan internasional dengan negara lain di lingkungan Asia Tenggara dalam hal pertukaran data dan informasi. Di dalam negeri sendiri dibutuhkan koordinasi dan kerjasama internal antardepartemen antar penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, imigrasi, bea cukai, departemen keuangan, departemen agama, dan instansi lain yang terkait dalam menangani kejahatan terorisme ini di mana masing-masing pihak harus meninggalkan “ego departemen”.
Dalam konteks dalam negeri menghadapi ancaman terorisme yang terjadi di Indonesia, selain melakukan fungsi kepolisian repsesif, diperlukan pendekatan preemtif dan preventif. Dengan menggunakan ilmu pengetahuan yang menawarkan berbagai solusi pemecahan dengan melalui penelitaan dan riset, maupun pendekatan kepada tersangka atau pelaku teroris dengan basis ilmu pengetahuan seperti : psikologi, kriminologi, sosiologi, agama dan teknologi kepolisian.
Salah satu contoh adalah pendekatan psikologi yang dilakukan Indonesia terhadap pelaku atau seorang mantan terorisme yang sudah tidak aktif, sehingga mampu mengungkap jaringan terorisme. Pendekatan tersebut dilakukan bisa melaui pendekatan keluarga, agama, dan reward bagi yang telah bekerja sama dalam rangka mendapatkan informasi yang mendalam tentang sepak terjang dan modus operandi teroris, serta faham-faham yang ditanamkan pada anggota baru, sehinga organisasi ini mampu beproduksi, atau menurut pepatah : patah satu hilang berganti (Petrus Golose : 2009).
Menanggapi faham radikalisme, maka perlu diadakan pemulihan kepada para pelaku atau seeorang yang sudah terjangkit faham tersebut. Beberapa ahli berpendapat untuk mengadakan lembaga konseling untuk merehabilitasi para pelaku teroris. Petrus Golose (2009) menyatakan bahwa pemulihan yang dilakukan bukan pada tataran rehabilitasi, melainkan deradikalisasi, karena mereka bukan pencandu narkoba yang dalam ketergantungan tinggi, namun keyakinan mereka yang harus dipulihkan.
- Trafcking
Trafficking manusia dari daratan Asia Tenggara pada
periode modern dimulai sejak 1960-an berkaitan dengan kehadiran tentara Amerika
Serikat di Indocina. Setelah tentara Amerika Serikat keluar dari Indocina pada
1975, banyak perempuan yang tetap berada pada perdagangan seks in Thailand;
yang lainnya mulai bekerja di luar negeri, khususnya Jerman, Skandinavia, Hong
Kong, dan Jepang. Agen-agen memfasilitasi migrasi dan lapangan pekerjaan
perempuan tersebut melalui “jaringan antarbangsa trafficking manusia.” Masalah
kuncinya adalah ketidakmampuan perempuan migran mengantisipasi dan
mengendalikan kondisi tenaga mereka.
Bukti riset mutakhir mengenai trafficking manusia dan
migrasi tidak teratur di Asia Tenggara menggambarkan beberapa “pergeseran.”
Pergeseran ini bisa dilihat perekrut, penyedia jasa transpor, proses traffikcking,
dan jenis eksploitasi di tempat tujuan.
Perekrutan: Jika perekrutnya cukup dikenal – seperti
saudara dan teman dekat –tidak akan berakhir dengan trafficking manusia.
Penggunaan kekuatan, penculikan, pengambilan paksa, dan paksaan sudah sangat
berkurang. Dalam banyak kasus, pihak yang hendak melakukan trafficking
mendekati perekrut untuk mencari keterangan mengenai migrasi. Pemakaian
keterangan palsu mengenai pekerjaan dan kondisi kerja menjadi lebih sering
diidentifikasi.
Trafficking: penyedia jasa transportasi adalah
fasilitator bagi migran pelintas-batas yang ingin menghindari aturan imigrasi
yang ketat dan rumit. Penyelundupan manusia merupakan terminologi yang tepat
karena migran secara sukarela menyediakan diri. Tampaknya cara transportasi
tidak begitu penting ketimbang melintasbatas or memotong kontrol imigrasi.
Jaringan trafficking memiliki koordinasi secara horisontal di sepanjang
perbatasan dalam operasi mereka. Pemakaian dokumen palsu sering ditemukan.
Tujuan populer trafficking adalah lokasi-lokasi yang kontrol imigrasinya lemah
dan ada banyak migran yang pergi ke sana.
Eksploitasi: selain eksploitasi seksual, perbudakan atau
tpembayaran utang, orang yang di-trafficking menghadapi masalah berupa
kurungan, pengambilan paksa dokumen, penangkapan dan pemerasan, lembur paksa,
dan kondisi kehidupan yang berat, miskin, sesak, tak aman dan kasar. Perbudakan
dan penghilangan organ manusia tidak ditemukan. Trafficking atas gadis,
perempuan muda yang siap menikah, termasuk juga kegiatan yang terjadi di dalam
rumah seperti trafficking atas bayi dan anak kecil juga dapat diidentifikasi.
Juga sangat penting untuk dicatat bahwa jumlah perempuan yang sukarela dan
mengetahui akibat bermigran untuk perdagangan seks meningkat dan biasanya
mereka menjadi korban kembali. Korban yang bisa diidentifikasi biasanya tak mau
dibantu dan dikirim pulang ke negeri asal.
Komentar
Posting Komentar