SEJARAH PERKEMBANGAN PERADABAN ROMAWI
SEJARAH PERKEMBANGAN PERADABAN ROMAWI
Oleh: Jeki Sepriady
A.
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Pusat kedudukan dan kekuasaannya ialah Roma didaerah Latium. Roma
memperoleh gelaran “kota abadi” karena tuanya (menurut babad didikan oleh
Romulus pada tahun 753 SM) dan “kota yang bergunung tujuh”, karena didirikan di
atas 7 buah gunung kecil ditepi sungai Tiber, diantaranya tempat Vatikan
(istana Paus, kepala gereja Katolik) sekarang. Letaknya dipusat semenanjung
Italia. Penduduk lainnya, misalnya orang Galia dilembah sungai Po, Etrusk di
Italia-Tengah serta orang-orang Yunani di Italia Selatan (Hoetaoeroek, 1968:20).
Bangsa Romawi yang mula-mula hanya mendiami kota Roma dan daerah
disekitarnya, sebagian besar terdiri dari kaum petani. Negeri Romawi mula-mula
berupa kerajaan, tetapi pada ± tahun 500 SM. Menjadi republic di bawah dua
orang Konsul, kekuasaan yang sesungguhnya ada ditangan Senat, yakni semacam
Dewan Perwakilan Rakyat. Lambat laun bangsa Romawi dapat menunudukkan
bangsa-bangsa lain sekitarnya. Roma menjadi besar, dan Negara Romawi meliputi
seluruh jazirah Italia. Untuk menguasai wilayah itu; dimana-mana didirikan
benteng-benteng, dimana ditempatkan orang-orang Romawi. Benteng-benteng itu
satu dengan satunya dihubungkan dengan jalan raja. Jalan-jalan raja itu, selain
untuk kepentingan militer, penting pula bagi perkembangan perdagangan,
lebih-lebih oleh sebab keamanan dipelihara baik dan terhadap kejahatan diadakan
hukuman yang berat (Soeroto, 1965:31).
Romawi terletak di Semenanjung
Alpenina (sekarang Italia). Batas-batasnya
adalah:
a.
Di utara adalah Pegunungan Alpen,
b.
Di timur adalah Laut Adriatik dan Laut Ionia,
c.
Di selatan adalah Laut Sicilia,
d.
Dan di barat adalah Laut Tirenia serta Laut Liguri.
Dari segi geografis, Romawi
merupakan daerah yang strategi di kawasan laut tengah, yang memungkinkan
lahirnya perdagangan di daerah ini, saat akan berdagang mereka menggunakan peta
yang di gambarkan di gulungan kertas. Lembah pegunungan Apenina merupakan lahan
subur dan dan cocok dijadikan sebagai lahan pertanian. Oleh karena
itu, Bangsa Romawi hidup dari bercocok tanam menghasilkan gandum, jagung, anggur, dan lain-lain. Di pegunungan Alpenina juga ditemukan berbagai
tambang mineral. Karena letak
Romawi yang di kelilingi lautan dan gunung juga menghindari serbuan dari bangsa
lain (Ahyani, 2006:9).
Para
sejarawan membagi sejarah Romawi ke dalam dua periode. Pertama, periode
republik, berawal pada 509 SM dengan tumbangnya monarki Etruscan. Kedua,
kekaisaraan, bermula pada 27 SM, ketika Octavianus (Augustus) pada hakikatnya
menjadi kaisar pertama Romawi, mengakhiri hampir lima ratus tahun pemerintahan
sendiri republiken. Dengan menaklukkan dunia Mediterania dan memperluas hokum
dan, dalam beberapa contoh, kewarganegaraannya kepada bangsa-bangsa yang
berbeda, Republik Romawi melampaui parokialisme yang khas bagi negara kota.
Republik memprakarsai kecenderungan ke arah universalisme politis dan legal, yang
mencapai hasil pada fase kedua sejarah Romawi, yakni Kekaisaran (Perry, 2012:115).
Berdasarkan uraian dari
latar belakang diatas, peneliti tertarik untuk meneliti tentang “Sejarah Perkembangan Peradaban Romawi”.
2.
Rumusan
Masalah
Adapun rumusan masalah
pada penelitian ini adalah:
a)
Bagaimanakah Asal Mula Bangsa Romawi?
b)
Bagaimanakah Sistem Pemerintahan Bangsa
Romawi?
c)
Bagaimanakah Sistem Kepercayaan Bangsa
Romawi?
d)
Bagaimanakah
Peperangan Bangsa Romawi?
e)
Bagaimanakah Peninggalanan Budaya Bangsa
Romawi?
f)
Bagaimanakah Pengaruh
Peradaban Romawi Kuno terhadap Masyarakat Indonesia?
3.
Tujuan
Adapun tujuan pada
penelitian ini adalah:
a)
Untuk mengetahui Asal Mula Bangsa
Romawi;
b)
Untuk mengetahui Sistem Pemerintahan
Bangsa Romawi;
c)
Untuk mengetahui Sistem Kepercayaan
Bangsa Romawi;
d)
Untuk
mengetahui Peperangan Bangsa Romawi;
e)
Untuk mengetahui Peninggalanan Budaya
Bangsa Romawi;
f)
Untuk mengetahui Pengaruh
Peradaban Romawi Kuno terhadap Masyarakat Indonesia.
4.
Manfaat
Adapun manfaat dari
penelitian ini adalah:
1) Secara teoritis, hasil penelitian ini
diharapkan dapat memberikan kontribusi dan pengembangan wawasan keilmuan
mengenai Sejarah Perkembangan Peradaban
Romawi sebagai materi ajaran Sejarah Eropa di Program Studi Pendidikan
Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial FKIP Universitas PGRI
Palembang.
2) Secara praktis, penelitian ini
diharapkan dapat menjadikan acuan atau rujukan untuk menganalisis sebagai
materi ajaran Sejarah Eropa di
Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
FKIP Universitas PGRI Palembang.
B.
PEMBASAHAN
1.
Asal
Mula Bangsa Romawi
Peradaban Romawi kuno diawali dengan lahirnya kota Roma. Mengenai waktu
berdirinya kota Roma yang terletak di lembah sungai Tiber, tidak diketahui
secara pasti. Siapakah cikal bakal bangsa Romawi yang mendirikan pemerintahan
Roma? Sumber sejarah yang dapat digunakan adalah legenda karya Vergellius yang
berjudul Aeneis. Kitab tersebut
mengisahkan seorang pelarian dan Troya yang dikalahkan oleh Yunani dalam perang
Troya bernama Aeneas ke negeri Latin di Italia. Kemudian putranya yang bernama
Ascanius pindah ke pedalaman dan mendirikan Kota Alba Longa (Djaja, 2012:22-23).
Menurut cerita mitologi
kota Roma didirikan oleh Romus dan Romolus, mereka adalah putra kembar putri
raja di kota Albalonga. Mereka lahir dari perkawinan putri raja tersebut dengan
Dewa Mars. Ketika terjadi perselisihan diantara keluarga raja, raja diusir dari
tahta kerajaan. Raja yang memerintah sangat kejam dan berusaha memusnakan semua
keturunan raja. Kedua anak kembar yang tidak lain keponakannya dibuang di
sungai Tiber. Orang yang disuruh raja untuk membuang keponakannya jadi merasa
kasihan, maka kedua bayi kembar itu ditahur di atas buayan dan terapung di
sungai Tiber ketika air sungai surut buayan tersebut tersangkut di lumpur
pinggir sungai. Di dekat kedua bayi tersangkut, ada serigala yang mendengar
tangisan bayi, serigala itu mendekat dan disusuilah kedua bayi itu. Kemudian
datang seorang pengembara dan diambilnya bayi kembar itu untuk diasuh (Ahyani, 2006:9).
Ketika mereka sudah
besar, pamannya diturunkan dari singgah sananya diambilnya kerajaan itu dan
dikembalikan kepada yang berhak. Sebagai upah, mereka diberi hadiah sebidang
tanah, tempat kemudian mereka mendirikan kota Roma. Cerita Remus dan Romulus merupakan suatu cerita mitos
yang bertujuan untuk menaikkan derajat bangsa Romawi. Secara historis, kota
Roma dibangun oleh petani-petani latin yang tinggal di kawasan sebelah utara
Semenanjung Italia. Perkembangan Romawi dipengaruhi oleh keadaan geografisnya.
Lokasinya strategis di kawasan Laut Tengah yang cocok untuk perdagangan, aman
dari serbuan bangsa asing karena terlindung oleh alam. Di utara adalah
pegunungan Alpen, di timur adalah laut Adriatik dan laut Lonia. Di Selatan
adalah laut Sicilia dan di Barat adalah laut Tirenia serta laut Liguri. Iklim
Romawi nyaman dan tanahnya juga subur untuk kegiatan pertanian. Roma dibangun
di atas tujuh bukit di tepi sungai Tiber, sehingga keadaannya aman dan
terlindungi (Djaja, 2012:24).
2.
Sistem
Pemerintahan Bangsa Romawi
Antara tahun 754 sampai tahun 510 SM negeri Romawi
diperintah oleh raja, raja-raja itu dipilih pleh lapisan rakyat yang tertinggi
(bangsawan). Di dalam hal pemerintahan raja dibantu oleh majelis Senat, yang
anggotanya terdiri dari orang-orang bangsawan. Rakyat jelata yang merupakan
petani dan prajurit rendah kedudukannya. Akan tetapi pada tahun 510 SM raja
terakhir diturunkan dari tahta dan sejak itu negeri Romawi menjadi Republik.
Pemerintahan dijalankan oleh dua orang konsul, yang dipilih untuk satu tahun.
Karena konsul itu tidak menerima gaji, sudah barang tentu hanya orang-orang
bangsawan saja yang menjabat pangkat itu (Wirjosuparto, 1956:106).
Disampingnya dua orang konsul itu, majelis senat masih
ada dan anggotanya tetap terdiri dari orang-orang bangsawan disamping itu ada
majelis permusyawaratan rakyat, yang anggotanya terdiri dari wakil-wakil
bangsawan dan rakyat jelata, akan tetapi tidak besarlah kekuasaan majelis itu.
Oleh karena diantara golongan rakyat jelata itu banyak yang kaya dan maju,
mereka minta hak-hak yang lebih luas. Ketika permintaan itu ditolak golongan
rakyat jelata bersiap-siap akan meninggalkan kota Roma untuk mendirikan kota
baru. Golongan bangsawan yang takut akan mundurnya kota Roma bila ditinggalkan
oleh golongan rakyat jelata terpaksa memberi hak-hak pada mereka ialah:
a)
Segala
pangkat-pangkat dan pangkat pendeta boleh dijabat oleh orang rakyat jelata, dan
b)
Mereka
boleh memilih seorang tribune, yang
harus seorang rakyat jelata, yang akan melindungi hak rakyat.
Kekuasaan tribune ini sangat besar karena mempunyai
hak veto (saya melarang) untuk dipergunakan melumpuhkan segala undang-undang
dari majelis senat yang mengikat golangan rakyat jelata (Hoetaoeroek, 1968:20).
Secara
garis besar sistem pemerintahan Romawi dapat digambarkan sebagai berikut:
a.
Kerajaan
(monarki) 750-500 SM
Pada mulanya Romawi
berbentuk kerajaan (monarki) dengan rajanya yang pertama adalah Romulus.
Raja-raja Romawi ini berasal dari keturunan pendatang, yaitu bangsa Etruska
yang memerintah penduduk asli sebelumnya, yaitu suku bangsa Latin. Meskipun
dibidang ekonomi kerajaan Roma mengalami perkembangan, namun bangsa Latin
merasa tidak senang terhadap penguasa asing yang mengenakan undang-undang
militer kepada mereka. Terjadilah pemberontakan penduduk Roma yang berhasil
mengulingkan Raja Tarquin pada 509 SM. Pemberontakan tersebut dipimpin oleh
Lucius Junius Brutus. Pemberontakan ini mengakhiri sistem monarki dan menjadi
awal mula pelaksanaan sistem demokrasi di Romawi (Djaja, 2012:25).
Pada abad ke 8-7 SM,
wilayah Italia Selatan dan Pantai Sicilia merupakan koloni dari Yunani. Koloni
Yunani di Italia tidak ditanggapi oleh bangsa Romawi sehingga keduanya pun
tidak pernah bersatu. Pada waktu yang hampir bersamaan, datanglah bangsa
Etrusci datang dari Asia Kecil menuju pantai barat Italia dengan kemampuan
teknologi yang lebih maju dan tidak melakukan percampuran darah dengan bangsa
asli maupun bangsa pendatang terdahulu, mereka menguasai beberapa kota di
Romawi yang sudah terbentuk sebelumnya. Kekuasaan Estruci merebut Kota Roma dan
menjadikannya sebagai ibukota. Kota Roma
pun mengalami kemajuan dalam bidang perdagangan dengan bangsa-bangsa yang berada
di sekitar Laut Tengah. Karena
adanya saingan, pada tahun 535 SM Etrusci bersekutu dengan Kartago lalu
berhasil mengusir Yunani dari tanah italia (Wirjosuparto, 1956:107).
Di saat krisis adanya ancaman
keamanan, akhirnya Yunani dan bangsa Romawi dapat bersatu mengusir Kartago dan
Etrusci (509 SM), dan dapat menguasai ibukota Roma.Interaksi antar
bangsa-bangsa yang datang ke Italia membentuk suatu percampuran kebudayaan,
orang-orang Romawi mengambil budaya Etrusci dan Yunani yang dikembangkan
sendiri, seperti halnya huruf alfabet yang dikenal sekarang (Wirjosuparto, 1956:107).
b.
Republik
Romawi 500-27 SM
Bangsa Latin adalah bangsa terbesar
menempati wilayah Romawi. Pola hidup semula bangsa Latin mengandalkan dari alam
dengan cara bertani dan beternak, namun sejak kedatangan Yunani, Etrusci dan
Kartago mengubah pola hidup semula dan mencoba mengadopsi semua ilmu dan
teknologi yang diperolehnya. Terusirnya
bangsa Etrusci, bangsa Roma membentuk sistem pemerintahan dalam bentuk Republik
yang terdiri dari negara-negara kota seperti polis di Yunani. Dalam kehidupan
sosial, Romawi terdiri dari dua kelompok yang berpengaruh, yaitu Patricia dan
Plebeia. Masing-masing
kelompok memiliki ciri khas tersendiri, Patricia terdiri dari penguasa tanah
yang besar sedangkan Plebeia terdiri dari golongan masyarakat kecil dan
menengah (pedagang, seniman, petani). Walaupun
jumlah Patricia sangat sedikit (8% dari jumlah bangsa Romawi) dominasi kaum
Patricia dalam pemerintahan sangat berpengaruh sehingga republik ini disebut
pula Republik kaum Patricia.
Lima tahun sejak kemenangan Romawi
atas Etrusci, bentuk pemerintahan diubah dari negara kota menjadi imperium yang
dipimpin oleh dua orang konsul. Kedua konsul diharuskan dari golongan Patricia
dan memiliki kekuasaan yang sama dan dapat memveto satu sama lainnya. Sebagai
penasihat konsul dibentuklah lembaga penasehat (Senat), lembaga perwakilan distrik (Comitia Curiata) dan lembaga perwakilan pemimpin militer (Comitia Centuriata). Golongan Plebei
mengajukan petisi persamaan haknya dengan Patricia dalam hal berpolitik, maka
dibentuklah Tribunate of Pleibei yang memperbolehkan hak veto dari Comitia
Curiata kepada Senat dan Comitia Centuriata. Orang Romawi
percaya bahwa negara yang baik harus dikuasai dengan imperium, dengan
kepercayaan ini Romawi mengembangkan wilayahnya ke luar wilayah Romawi. Setelah
kemenangan Romawi atas Yunani timbullah kepercayaan diri dan membangun kekuatan
militer untuk memukul mundur pasukan Phunisia (Phoenix), yaitu Kartago dari
Afrika Utara (Seignobos, 2014:223).
Peperangan pun terjadi sebanyak tiga
kali, yaitu tahun 264 SM saat Romawi merebut Pulau Sisilia, tahun 241 SM saat
Romawi diserang oleh Hannibal (panglima perang Kartago) secara tiba-tiba di
pegunungan Alpen dan Romawi berhasil menyerang kembali dan memukul mundur, dan
tahun 146 SM saat menguasai Laut Tengah dan Asia Barat. Seringnya
terjadi peperangan, mengakibatkan tanah pertanian menjadi tidak terurus dengan
baik, apalagi prajurit Romawi direkrut dari golongan rakyat yang terdiri dari
petani. Akibat
adanya kecemburuan sosial di kalangan masyarakat bawah dengan timbulnya
kekuasaan pemilikan tanah oleh golongan Patricia semakin bertambah maka
terjadilah pemberontakan yang dipimpin oleh Spartacus (73-71 SM). Masyarakat
Romawi pada umumnya terbagi menjadi dua golongan yakni:
1)
Golongan patricia (golongan bangsawan), golongan
ini memegang kekuasaan di Roma sebagai warga penuh.
2)
Golongan plebeca (rakyat rendah), golongan
ini boleh mendirikan tribun plebis, salah satu konsulnya berasal dari
plebeca. Untuk mengatur kehidupan bernegara disusunlah sebuah undang-undang
tertulis yang pertama kali, yaitu Lejes Duodecim Tabularum yang berupa
12 lempengan tembaga.
Namun
menurut Wahyudi Djaja (2012:27) susunan masyarakat setelah bersatunya golongan
bangsawan masyarakat biasa sebagai berikut:
1)
Optimat,
terdiri atas bangsawan dan rakyat biasa yang kaya.
2)
Equites, para
pedagang dan pengusaha-populus.
3)
Rakyat biasa
yang memiliki suara di Dewan Rakyat.
4)
Budak,
tawanan perang yang tidak mempunyai hak.
5)
Proletor,
warga Negara Roma yang hanya memiliki dirinya sendiri.
Kondisi dalam negeri yang bobrok
akibat perang saudara, munculnya kaum proletar (prajurit yang menjadi
gelandangan), dan ancaman perang dari bangsa lain berlangsung lama, senat
merasa kewalahan dan tidak mampu menangani masalah serius tersebut. Kemudian
tahun 64 SM muncul tiga tokoh militer yang memiliki reputasi yang besar. Mereka
adalah Pompeius, Crassus dan Julius Caesar yang dikenal dengan nama Triumvirat
(persekutuan tiga serangkai).
Ketiga orang ini, selalu berseteru
dan masing-masing selalu ingin menonjolkan dirinya dengan mengajukan sebagai
konsul di Romawi.Setelah meninggalnya Crassus dalam pertempuran di Mesopotamia,
hubungan buruk antara Pompeius dan Julius Caesar tak terelakkan lagi.Pompeius
mencoba merangkul Senat dan menyingkirkan saingannya, namun kelihaian Julius
Caesar tak dapat dibendung bahkan berhasil menguasai Peninsula (semenanjung
Italia) dan membunuh Pompeius di Yunani. Julius Caesar pun menjadi pemimpin
tunggal Romawi dan menjadikan dirinya sebagai diktator seumur hidup. Banyak
terjadi perubahan semasa pemerintahan Julius Caesar, mengurangi tugas-tugas
Senat, pembaharuan administrasi, memperbaiki perpajakan, pembuatan perumahan,
memperbaiki sistem kalender matahari dan pengeringan rawa-rawa.Ternyata,
perubahan dan kesuksesan Yulius Caesar tidak mendapat sambutan hangat dari
beberapa pihak termasuk dari anak angkatnya Brutus. Tragisnya,
tahun 44 SM Julius Caesar pun dibunuh oleh Brutus.
Kematian Yulius Caesar menimbulkan
kekacauan, Senat ingin kembali menguasai pemerintahan. Dalam
kondisi negara seperti ini, para panglima Yulius Caesar membentuk triumvirat
yang baru terdiri dari Antonius, Lepidus dan Octavianus. Kekuatan ini dapat
menguasai Romawi menjadi terkendali dan membunuh Brutus sang pemberontak. Atas
jasa-jasanya ketiga panglima diberi wilayah kekuasaan, Antonius menguasai wilayah
sebelah Timur (Asia Kecil dan Mesir), Lepidus menguasai wilayah Selatan (Afrika
Utara) dan Octavianus menguasai wilayah Barat (Yunani dan Spanyol).
Sama seperti Triumvirat sebelumnya,
terjadi perselisihan antara Octavianus dan Antonius karena curiga akan menjadi
penguasa tunggal di Imperium Romawi. Apalagi, perselisihan terus memuncak saat
Antonius menikah dengan Putri Cleopatra dari Mesir. Di lain cerita, Lepidus pun
meninggal. Tahun 31 SM Octavianus berhasil menghancurkan kekuatan Antonius. Senat kemudian
mengangkatnya menjadi kaisar dan memberi gelar Augustus Yang Maha Mulia (Mansur, 1986:180).
c.
Zaman Kekaisaran
Dilantiknya Octavianus menjadi
kaisar (penguasa tunggal) menjadikan bentuk pemerintahan Romawi menjadi
kekaisaran dengan Octavianus sebagai kaisar yang pertama. Keadaan
negara pada zaman ini dinamakan Pax Romana, artinya Roma yang damai. Octavianus
memiliki kekuasaan tunggal atas Imperium Romawi yang memiliki kekuasaan
absolut.Ia tidak hanya penguasa dalam bidang pemerintahan dan politik namun
juga sebagai kepala agama. Pembaharuan pun dilakukan dengan baik, Kota Roma
dilengkapi polisi dan pemadam kebakaran, meningkatkan subsidi gandum, membangun
arena olahraga, dan membangun kuil.
Setelah Octavianus meninggal,
kekuasaan diserahkan kepada Tiberius (1437 M). Pada masa
ini timbul penyebaran agama Kristen oleh Nabi Isa (Yesus Kristus). Agama
Kristen mengajarkan monotheisme dan tidak mendewakan manusia. Karena demikian,
kaum Kristen dianggap sebagai pemberontak yang akan menjadi raja maka Yesus
Kristus pun dihukum mati dengan cara disalib dan penganutnya ditindas. Tahun 54-68 M Kaisar
Nero berkuasa di Romawi. Pada masa ini, sejumlah kaum Kristen diincar dan
dibunuh karena pengikut kristen makin bertambah jumlahnya. Namun
keadaan ini tidak membuat kaum Kristen menjadi gentar, dan membuahkan hasil
yang baik pada masa kekuasaan Konstantin Agung (312-337 M). Perlakuan
pengejaran dan pembunuhan kepada kaum Kristen ditiadakan, ia menyadari dengan
benar nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran-ajaran Yesus Kristus. Sejak itu
agama Kristen ditetapkan sebagai agama negara.
Konstantin Agung memindahkan ibukota
dari Roma ke Konstantinopel. Keputusan
ini merupakan awal yang tidak baik bagi kekuasaan Imperium Romawi. Pada tahun
400 M, pecahlah kekuasaan Romawi menjadi dua bagian, yaitu Imperium Romawi
Barat dengan ibukota Roma dan Imperium Romawi Timur dengan ibukota
Konstantinopel. Tahun 476 M Imperium Romawi Barat hancur oleh penyerangan
bangsa Jerman. Keruntuhan Romawi Barat tidak memengaruhi keamanan Romawi Timur,
bahkan sempat mengalami kejayaan pada masa Kaisar Yusthianus tahun 527-563 M. Pada
tahun 1543 Imperium Romawi Timur hancur oleh serangan bangsa Turki (Hoetaoeroek, 1968:23).
3.
Sistem
Kepercayaan Bangsa Romawi
Pada awalnya bangsa Romawi mempercayai
akan kekuatan roh atau dengan kata lain, kepercayaan mereka adalah animisme.
Bangsa Romawi memuja beberapa roh seperti:
a)
Vesta yaitu roh pengurus api tungku.
b)
Lares yaitu roh penjaga rumah tangga dan batas ladang
keluarga.
c)
Penates yaitu roh penjaga lumbung.
d)
Janus yaitu penjaga pintu rumah.
e)
Vesta yaitu penjaga api.
Peradaban Romawi juga mendapat
pengaruh besar dari peradaban Yunani termasuk kepercayaan yang bersifat
Polytheisme. Bangsa Romawi juga menyembah
dewa-dewa bangsa Yunani namun namanya disesuaikan dengan nama-nama Romawi.
Mitologi Romawi adalah kumpulan
legenda Romawi tentang dewa-dewi Romawi yang berawal dan tersebar melalui
tradisi lisan. Mitologi ini memiliki persamaan
dengan mitologi Yunani, terutama mengenai mitologi tentang para dewa.
a)
Hercules adalah tokoh dalam mitologi Romawi. Dalam
mitologi Yunani dia dikenal sebagai Herakles.
b)
Pluto, dalam mitologi Romawi, Pluto adalah dewa dunia
bawah. Dalam mitologi Yunani dia disebut Hades.
c)
Yupiter, dalam mitologi Romawi, Jupiter atau Jove adalah
raja para dewa, dan dewa langit dan petir. Dalam mitologi Yunani dia dikenal
sebagai Zeus. Ia dipanggil Iuppiter (atau Diespiter) Optimus Maximus (Dewa
Terbaik dan Terbesar).
d)
Venus adalah salah satu yang terkenal dalam sejarah
mitologi Romawi. Dewi ini diasosiasikan dengan cinta dan kecantikan, identik
dengan Aphrodite dan Etruscan deity Turan dari mitologi Yunani.
e)
Mars, dalam mitologi Romawi adalah dewa perang, putra
dari Juno dan Jupiter,suami Bellona, dan kekasih Venus. Dia adalah dewa militer
yang utama dan disembah oleh legiun Romawi. Dalam mitologi Yunani, Mars dikenal
dengan nama Hermes.
f)
Neptunus
(bahasa Latin: Neptūnus) adalah dewa air dan laut pada mitologi Romawi,
saudara kandung Yupiter dan Pluto. Ia serupa, tetapi tidak sama dengan dewa
Poseidon dari Mitologi Yunani.
Setelah lahirnya agama kristen,
ditanah Judea yang merupakan wilayah kekaisaran Romawi maka agama yang baru ini
mulai berkembang bahkan sampai di Roma sebagai pusat pemerintahan. Penyebaran
ke arah barat dilakukan oleh Petrus dan Paulus. Penganut agama kristen semakin
banyak terutama dari golongan budak (kaum tertindas).
Para kaisar Romawi lalu
memerintahkan pasukannya untuk menindas penganut agama kristen Karena ajaran
agama kristen dapat menggoyahkan sendi-sendi kekuasaan kaisar. Ajaran tersebut
adalah:
a)
Bersifat monotheisme sedangkan agama Romawi bersifat
polytheisme,
b)
Menolak pendewaan kaisar,
c)
Menolak perbudakan, dan
d)
Menolak wajib militer dan berperang.
Pada masa Kaisar Nero berkuasa, Ia
tega membunuh ibunya sendiri, istrinya juga gurunya dan membakar kota Roma
serta menuduh bahwa orang kristenlah yang melakukan perbuatan itu sebagai
alasan untuk menganiaya mereka. Berkaitan
dengan kepercayaan itu berkembanglah bangunan pemujaan terhadap dewa-dewi
seperti gedung Pantheon yaitu rumah dewa bagi bangsa Romawi. Setelah agama
kristen ditetapkan sebagai agama negara maka Roma kemudian menjadi pusat agama
Roma Katolik dengan pemimpinnya yang disebut Paus serta dibangun gereja yang
megah dikenal sebagai gereja Santo Petrus (Seignobos, 2014:205).
Berkembangnya Agama Nasrani
Pada awal perkembanganya agama Nasrani
banyak mendapat tekanan dari pemerintah karena agama ini dianggap menyalahi
kepercayaan setempat yang punya banyak dewa atau disebut polytheisme sedangkan
agama nasrani lebih menjurus ke monotheisme tetapi pada perkembangan
selanjutnya ajaran agama Nasrani mampu berkembang cukup pesat pada golongan
masyarakat bawah yang pada perkembangan selanjutnya para penguasa juga memulai
memeluk agama ini. Ini tidak lain juga merupakan imbas dari kekacauan yang
terjadi di kekaisaran Roma yang memicu tumbuhnya keinginan untuk memilih agama
yang lebih baik dari agama yang dianut mereka sebelumnya sebagai pegangan
hidup. Masyarakat Romawi sudah tidak
percaya lagi pada dewa yang mereka sembah karena mereka sudah punya anggapan
bahwa dewa-dewa tersebut tidak mampu menyelesaikan persoalan mereka.
Pada awal abad 4 M, Kaisar Roma yang
bernama Konstatin memeluk agama Nasrani dan melegalkan masyarakatnya untuk
menganut agama nasrani. Dia melakukan hal itu karena saat bertempur dia melihat
di angkasa salib dengan tulisan (dengan tanda ini engkau akan menang). Dan hal itu
membuat ia yakin bahwa agama nasrani adalah agama yang benar. Pada saat itulah
agama nasrani berkembang pesat tetapi sudah kehilangan bentuk aslinya. Kini justru
Romawi lah yang mempengaruhi agama tersebut. Pengaruh tersebut adalah adanya
suatu organisasi yang memicu munculnya susunan organisasi gereja, dengan posisi
tertinggi yaitu Paus. Gereja menjelma menjadi suatu negara tersendiri, dengan
istana Paus di Vatikan yang menjadi pusat agama nasrani. Segala kekuasaan dalam
gereja berasal dari pusat yang menjadikan Paus menjadi pemimpin tertinggi
gereja yang tidak hanya mengurus masalah kerohanian saja tetapi juga sudah
lebih ke politik.
Suatu jemaat nasrani mengangkat
seorang presbyter (biskop).
Kemudian untuk kota diangkat seorang patriarch sehingga pada 400 M
patriarch-patrioarch tersebut mengakui kekuasaan Vatikan dan tunduk terhadap
Paus, sementara imam-imam gereja dalam suatu muktamar gereja menetapkan ajaran
agama nasrani hingga kepada hal-hal yang kecil dan khusus. Pada
perkembangan selanjutnya dibentuk suatu hierarki gereja yang kokoh dengan Roma
sebagai pusatnya. Dimana di pucuk pimpinan ada Paus dibawahnya dan ada
kardinal, kemudian biskop pertama (aarts
bisschop), diikuti oleh biskop, pastur dan (apellon) masing-masing bertanggung jawab pada orang yang ada
diatasnya. Dalam organisasi gereja tersebut terlihat benar tradisi pemerintahan
Romawi sebagai pengaruhnya.
Perkembangan agama Kristen yang
begitu pesat ternyata menimbulkan banyak masalah baru, diantaranya yaitu banyak
orang yang masuk Kristen hanya untuk menanamkan pengaruh di komunitas-komunitas
Kristen tersebut, sehingga banyak orang yang masuk Kristen hanya ikut-ikutan
saja tidak berdasarkan hati nurani. Melihat gejala sosial tersebut para pemeluk
agama Kristen yang puritan sangat prihatin sehingga mereka mengundurkan diri
dari dunia ramai dan menyepi ditempat-tempat seperti hutan, gunung, dan padang
pasir sebagai pertapa. Hidup para pertapa itu serba sulit, namun mereka punya
pengikut yang banyak, bahkan beberapa diantara mereka melakukan askekitisme
yang cukup ekstrim. Diantara para pertapa yang terkenal itu adalah Santo
Anthonius dari Mesir, dan Santo Simean Stylitus.
Namun cara hidup diatas dipandang
oleh orang kebanyakan sebagai hal yang terlalu sulit untuk dilakukan sehingga
pada perkembangan selanjutnya muncul gaya pertapaan baru yang diperkenalkan
oleh Santo Pachomius. Cara baru ini adalah tetap bertapa dan menyendiri tetapi
masih diharuskan untuk bekerja, dan berdoa dan membanca injil bersama-sama
dengan sesama pertapa. Ini disebabkan karena dorongan alamiah seorang manusia
untuk berkumpul dan bersosialisasi dengan manusia lain. Tidak heran bila banyak
pemeluk agama Kristen yang menerima ajaran ini dan beribu-ribu orang di Mesir
hulu mengikuti tata cara Pachomius ini.
Tetapi pada perkembangan selanjutnya
muncul lagi revolusi sistem pertapaan tapi sistem ini lebih mirip atau lebih
baik disebut sistem kebiaraan. Pencetus cara baru ini adalah Santo Dasil yang
menyebutkan bahwa seorang pertapa seharusnya orang yang hidup dilingkungan
keagamaan, hidup bersama dalam suatu lingkungan peribadatan dilakukan juga
bimbingan terhadap pembacaan Injil. Dengan cara ini muncul biara-biara yang
fungsinya sebagai tempat peribadatan umat Nasrani. Umat Nasrani sendiri
memiliki seorang rasul yang bernama Yohannes yang meninggal sekitar tahun 101,
dan dengan kematiannya ini menandai bahwa telah berakhir zaman apostolik (zaman
rasul-rasul) kemudian muncul bapa-bapa apolistik yang dianggap menerima
perintah khusus dari para rasul. Diantara para bapa apolistik itu yang sangat
terkenal adalah St Clement, St Ignatius
dan St Polycarpus. Setelah zaman para bapa apostolik, munculah para bapa
gereja. Biasanya mereka adalah orang berwatak mulia dan berdisiplin tinggi.
Karya-karya mereka lazim disebut patristik yang sangat berpengaruh pada Eropa
abad pertengahan dan modern.
Beberapa bapa gereja tersebut adalah
Uskup Eusebius, St Ambrosius, St Jeremius
dan St Agustinus. Karya Eusebius
yang paling terkenal adalah sejarah gereja yang menjadi acuan bagi karya-karya
sejarah perkembangannya gereja oleh generasi selanjutnya. St Ambrosius yang
dikenal sebagai Uskup Milan memperkenalkan hymne liturgi ke gereja. St Jeremies
menciptakan karya yang sangat penting bagi gereja. Karya tersebut adalah
terjemahan kitab perjanjian lama dan baru ke bahasa Latin. St Agustinus adalah
penulis dan pemikir terbesar di kalangan gereja Kristen di Eropa. Karya
tersebut diantarannya adalah Confessions (pengakuan-pengakuan),
De Civitas dei, atau the city of God
(kota Tuhan). Dengan perkembangan itulah agama Kristen berkembang dengan pesat
didataran Eropa (Wirjosuparto, 1956:112).
4.
Peperangan Bangsa Romawi
a.
Perang Romawi-Persia
Perang Romawi–Persia adalah serangkaian konflik antara Romawi melawan dua kekaisaran Iranik yang berturut-turut; Parthia dan Sassaniyah. Hubungan
antara Kekaisaran Parthia dan Republik Romawi dimulai pada tahun 92 SM; peperangan dimulai ketika
masa akhir Republik Romawi dan terus berlanjut ketika Kekaisaran Romawi melawan Kekaisaran
Sassaniyah. Konflik
ini berakhir ketika munculnya invasi Muslim Arab, yang menghantam Sassaniyah serta Kekaisaran Romawi
Timur dengan
dampak yang sangat menghancurkan tidak lama setelah Romawi dan Sassaniyah
berhenti berperang.
Meskipun peperangan antara Romawi dan Parthia/Sassaniyah
berlangsung selama tujuh abad, garis depan kedua pihak cenderung tetap stabil.
Tarik-menarik berlangsung: kota, benteng, dan provinsi terus-menerus diserang,
ditaklukkan, dihancurkan, dan dipindahtangankan. Kedua belah pihak tidak
memiliki kekuatan logistik dan tenaga manusia untuk menghadapi kampanye yang
panjang dan jauh di luar perbatasan mereka, dan kedua belah pihak tidak mampu
melaju terlalu jauh tanpa mengambil risiko membuat garis depan menjadi terlalu
tipis. Kedua pihak memang melakukan penaklukan di luar perbatasan
masing-masing, namun keseimbangan selalu kembali seperti semula. Garus
kebuntuan bergeser pada abad ke-2 M: batasnya awalnya adalah di sepanjang Efrat; batas baru ada di timur, atau
kemudian di timur laut, di seberang Mesopotamia sampai Tigris utara. Ada pula beberapa pergeseran penting lebih jauh di
utara, yakni di Armenia dan Kaukasus.
Penghabisan sumber daya selama Perang Romawi-Persia pada akhirnya berujung
bencana pada kedua Kekaisaran itu. Peperangan yang berkepanjangan dan meningkat
pada abad ke-7 dan ke-6 SM menyebabkan kedua pihak menjadi lemah dan rentan
ketika terjadi kebangkitan dan ekspansi yang tiba-tiba dari Kekhalifahan Muslim
Arab, yang pasukannya menginvasi kedua
kekaisaran itu hanya beberapa tahun setelah Perang Romawi-Persia berakhir. Memanfaatkan
keadaan mereka yang melemah, pasukan Muslim Arab dengan cepat menaklukkan keseluruhan Kekaisaran Sassaniyah. Pasukan Arab juga merampas wilayah Kekaisaran Romawi Timur
yang ada di Levant, Kaukasus, Mesir, dan Afrika Utara. Pada abad-abad berikutnya, sebagian besar Kekaisaran
Romawi Timur berhasil dikuasai oleh Muslim.
Menurut James
Howard-Johnston,
"sejak abad ke-3 SM hingga abad ke-7 M, pemain yang bersaing (di Timur) adalah pihak yang kuat dengan
ambisi besar, yang mampu mendirikan dan mengamankan wilayah yang melampaui daerah-daerah
yang terbagi-bagi". Romawi dan Parthia mulai melakukan kontak melalui
penaklukan masing-masing terhadap Kekaisaran Seleukia. Selama abad ke-3 SM, orang-orang
Parthia mulai bermigrasi dari stepa Asia Tengah ke Iran utara. Meskipun dikuasai untuk sementara waktu oleh
Seleukia, pada abad ke-2 SM mereka berhasil bebas dan mendirikan negara merdeka
yang secara perlahan-lahan meluas, menaklukkan Persia dan Mesopotamia. Dipimpin oleh Dinasti Arcasiyah, Parthia menghalau beberapa usaha Seleukia untuk merebut
kembali bekas wilayah kekausaan mereka, dan Parthia malah terus memperluas
kekuasaan mereka sampai ke India. Sementara itu Romawi mengusir Seleukia dari wilayah
kekuasaan mereka di Anatolia pada awal abad ke-2 SM, setelah mengalahkan Antiokhos III yang
Agung pada Pertempuran
Thermopylae
dan Pertempuran Magnesia. Pada akhirnya, pada tahun
64 SM Pompeius menaklukkan sisa-sisa kekuasaan Seleukia di Suriah,
memusnahkan negara tersebut dan memajukan batas timur Romawi sampai ke Efrat, yang berbatasan langsung dengan
wilayah kekuasaan Parthia.
Perang Romawi-Parthia
Hubungan Parthia dengan Barat dimulai pada masa Mithridates I dan dilakukan kembali oleh Mithridates II, yang melakukan negosiasi dengan Lucius Cornelius
Sulla mengenai
kemungkinan persekutuan Romawi-Parthia (sek. 105 SM) meski akhirnya gagal. Ketika
Lucullus menginvasi Armenia
Selatan dan
memimpin sebuah serangan terhadap Tigranes pada 69 SM, dia menghubungi Phraates III guna memintanya supaya tidak ikut campur. Meskipun Parthia
bersikap netral, Lucullus sempat mempertimbangkan untuk menyerang mereka. Pada
66-65 SM, Pompeius mencapai
kesepakatan dengan Phraates, dan pasukan Romawi-Parthia menginvasi Armenia, namun kemudian muncul percekcokan di perbatasan Efrat.
Akhirnya, Phraates menegaskan kekuasaannya atas Mesopotamia, kecuali untuk
distrik barat Osroene, yang menjadi tanah jajahan Romawi.
Jenderal Romawi Marcus Licinius
Crassus memimpin
sebuah invasi ke Mesopotamia pada 53 SM yang berakhir dengan bencana; dia
dan putranya Publius dibunuh pada Pertempuran Carrhae oleh pasukan Parthia di bawah Jenderal
Surena; ini
adalah kekalahan pertama Romawi sejak Pertempuran
Cannae. Parthia
menggempur Suriah setahun kemudian, dan melakukan invasi besar pada 51 SM,
tetapi pasukan mereka disergap di dekat Antigonea oleh Romawi, dan mereka pun dipukul
mundur.
Parthia tetap bersikap netral selama
perang saudara
Caesar, yang
berlangsung antara pasukan pendukung Julius Caesar dan pasukan pendukung Pompeius dan faksi tradisional di Senat Romawi. Akan tetapi, Parthia tetap menjaga hubungan baik dengan
Pompeius, dan setelah kekalahan serta kematian Pompeius, pasukan Parthia di
bawah Pacorus
I menolong jenderal Pompeius, Q.
Caecilius Bassus,
yang sedang dikepung di Lembah Apamea oleh pasukan Caesar. Setelah
memenangkan perang saudara, Julius Caesar mempersiapkan kampanye melawan
Parthia, namun dia keburu meninggal akibat dibunuh sehingga rencananya tidak
jadi dilaksanakan. Parthia mendukung Brutus dan Cassius selama perang saudara
Liberator dan
mengirim satu kontingen untuk bertempur dalam Pertempuran
Philippi pada
42 SM. Setelah kekalahan para Liberator, Parthia menginvasi wilayah Romawi
pada 40 SM bekerja sama dengan Quintus
Labienus, orang
Romawi mantan pendukung Brutus dan Cassius. Mereka dengan cepat menguasai
provinsi Romawi Suriah dan bergerak menuju Yudea, mengalahkan klien Romawi Hyrcanus
II dan menempatkan keponakannya Antigonus. Untuk sesaat, seluruh bagian timur Romawi tampaknya telah
diambil oleh Parthia atau akan jatuh ke tangan mereka. Namun, hasil dari perang saudara
Romawi dengan
segera memulihkan kekuatan Romawi di Asia. Markus Antonius mengirim Ventidius untuk menghadang Labienus, yang telah menginvasi Anatolia.
Labienus dengan cepat dipukul mundur ke Suriah oleh pasukan Romawi, dan,
meskipun dibantu oleh Parthia, dia dikalahkan, ditawan, dan dibunuh. Setelah
kembali mengalami kekalahan di dekat Gerbang
Suriah, Parthia
menarik pasukannya dari Suriah. Mereka kembali pada 38 SM namun secara
telak dikalahkan oleh Ventidius, dan Pacorus terbunuh. Di Yudaea, Antigonus
digulingkan dengan bantuan Romawi oleh Herod pada 37 SM. Setelah Romawi
kembali menguasai Suriah dan Yudea, Markus Antonius memimpin pasukan besar
menuju Atropatene (Azerbaijan modern), namun kereta kepung dan pasukan pengiringnya
diisolir dan disapu habis, sementara sekutu Armenianya meninggalkannya. Gagal memperoleh perkembangan berarti
melawan posisi Parthia, Romawi akhirnya mundur dengan kerugian yang besar.
Antonius kembali ke Armenia pada 33 SM untuk bergabung dengan raja Media melawan Octavianus dan Parthia. Dia pada akhirnya terpaksa harus mundur dan
keseluruhan wilayah itu dikuasai oleh Parthia.
Kekaisaran Romawi vs. Parthia
Karena ketegangan antara kedua pihak dapat berujung pada
perang lagi, maka Gaius
Caesar dan Phraates berusaha melakukan perundingan pada 1 M. Berdasarkan
perjanjian yang mereka sepakati, Parthia bersedia menarik pasukannya dari
Armenia dan mengakui protektorat de facto Romawi di sana. Meskipun demikian, persaingan Romawi–Persia
atas kendali dan pengaruh di Armenia terus berlangsung selama beberapa dekade berikutnya.
Keputusan raja Parthia Artabanus II untuk menempatkan putranya pada takhta Armenia yang kosong,
memiu perang dengan Romawi pada 36 M, yang berakhir setelah Artabanus
melepaskan pengaruh Parthia di Armenia. Perang kembali meletus pada 58 M,
setelah raja Parthia Vologases
I memaksa menempatkan saudaranya Tiridates di takhta Armenia. Pasukan Romawi
menggulingkan Tiridates dan menggantikannya dengan seorang pangeran Kappadokia, memicu perang yang inkonklusif. Perang ini berakhir pada 63 M
setelah Romawi setuju untuk membiarkan Tiridates dan keturunannyan untuk
memerintah Armenia dengan syarat bahwa mereka menerima hak meraja dari kaisar
Romawi.
Serangkaian konflik baru terjadi pada abad ke-2 SM, ketika
itu Romawi terus-menerus menang melawan Parthia. Kaisar Trajanus menginvasi Armenia dan Mesopotamia pada 114 dan 115 M. Dia
menjadikan kedua wilayah itu sebagai provinsi Romawi. Dia juga menaklukkan ibu
kota Parthia, Ktesiphon, sebelum akhirnya berlayar ke Teluk Persia. Akan tetapi, pemberontakan meletus pada 115 M di tanah
Parthia yang terjajah, ketika pemberontakan
Yahudi yang
besar terjadi di wilayah Romawi, sangat menguras sumber daya Romawi. Pasukan
Parthia menyerang posisi-posisi kunci Romawi, dan garnisun Romawi di Seleukia, Nisibis dan Edessa diusir oleh penduduk lokal.
Trajanus berhasil memadamkan pemberontakan di Mesopotamia, namun setelah
menempatkan pangeran Parthia Parthamaspates di takhta Parthia sebagai penguasa klien Romawi, Trajanus
pun menarik mundur pasukannya dan kembali ke Suriah. Trajanus meninggal pada
117 M, sebelum dia sempat mengatur ulang dan mengkonsolidasi kendali Romawi di
provinsi-provinsi Parthia.
Perang Parthia Trajanus menandai "pergeseran penekanan dalam
'strategi utama Kekaisaran Romawi' ", namun penerusnya, Hadrianus, memutuskan bahwa Romawi harus kembali menjadikan Efrat
sebagai batas kekuasaan langsungnya. Hadrianus kembali pada keadaan status quo ante, dan menyerahkan wilayah Armenia, Mesopotamia, dan Adiabene, masing-masing kepada para penguasa dan raja di wilayah itu
sebelumnya.
Perang memperebutkan Armenia kembali pecah pada 161 M, ketika Vologases IV mengalahkan pasukan Romawi di sana, menaklukkan Edessa dan
menggempur Suriah. Pada 163 M, serangan balik Romawi di bawah Statius
Priscus
mengalahkan Parthia di Armenia dan menempatkan kandidat yang didukung Romawi di
takhta Armenia. Setahun kemudian Avidius Cassius menginvasi Mesopotamia, memenangkan pertempuran di Dura-Europos dan Seleukia, serta menjarah Ktesiphon pada 165 M. Sebuah
epidemik di Parthia ketika itu, kemungkinan cacar, menular ke pasukan Romawi dan
memaksa mereka untuk mundur; Ini adalah asal mula Wabah Antoninus yang menjangkiti Kekaisaran Romawi selama satu generasi.
Pada 195–197 M, Romawi melakukan serangan di bawah kaisar Septimius Severus dan berujung pada penguasaan Romawi atas Mesopotamia utara
sampai sejauh daerah sekitar Nisibis, Singara. Romawi juga berhasil menaklukkan
Ktesiphon untuk kedua kalinya. Perang terakhir melawan Parthia dilancarkan oleh
kaisar Caracalla, yang berhasil menaklukkan Arbela pada 216 M. Setelah dia dibunuh,
penerusnya, Macrinus, dikalahkan oleh Parthia pada Pertempuran Nisibis. Supaya dapat memperoleh perdamaian, dia terpaksa harus
membayar segala kerugian yang disebabkan oleh Caracalla kepada Parthia.
Perang Romawi-Sasaniyah
Konflik berlanjut tidak lama setelah penggulingan kekuasaan
Parthia dan pendirian Kekaisaran
Sassaniyah oleh Ardashir I. Ardashir menggempur Mesopotamia dan Suriah pada 230 M lalu
menuntut penyerahan seluruh wilayah bekas kekuasaan Kekaisaran
Akhemeniyah.
Setelah perundingan yang tanpa hasil, Alexander Severus menyerang Ardashir pada 232 M dan berhasil memkul mundurnya.
Pada 238-240
M, menjelang akhir masakekuasaannya, Ardashir menyerang lagi, menaklukkan
beberapa kota di Suriah dan Mesopotamia, termasuk Carrhae dan Nisibis. Peperangan terus
berlanjut dan semakin keras di bawah penerus Ardashir, Shapur
I, yang menginvasi Mesopotamia.
Pasukannya dikalahkan pada Pertempuran
Resaen pada 243
M sehingga Romawi dapat merebut kembali Carrhae dan Nisibis. terdorong oleh
kemenangan ini, kaisar Romawi Gordianus
III bergerak menuju Efrat namun malah dipukul
mundur di dekat Ktesiphon dalam Pertempuran
Misiche pada 244
M.
Pada awal 250-an M, kaisar Philippus
si Arab terlibat
dalam perebutan kekuasaan atas Armenia. Shapur membunuh raja Armenia dan
akibatnya perang melawan Romawi kembali terjadi. Shapur mengalahkan Romawi pada
Pertempuran Barbalissos, dan kemudian barangkali dia
menaklukkan dan menjarah Antiokia. Antara 258 dan 260 M, Shapur menangkap kaisar Valerianus
I setelah mengalahkan pasukan Romawi
pada Pertempuran Edessa. Shapur lalu bergerak ke Anatolia,
namun dia dikalahkan oleh pasukan Romawi di sana, selain itu dia juga diserang
oleh Odaenathus dari Palmyra sehingga pasukan Persia terpaksa
harus mundur dari wilayah kekuasaan Romawi.
Kaisar Carus melancarkan invasi yang sukses terhadap Persia pada 283 M.
Dia menjarah Ktesiphon, ibu kota Sassaniyah. Ini adalah kali ketiga Ktesiphon
dijarah. Romawi bisa saja meneruskan penaklukan mereka namun Carus keburu
meninggal pada bulan Desember tahun tersebut. Setelah perjanjian damai yang
singkat pada masa pemerintahan Diocletianus, Persia kembali menyulut permusuhan ketika mereka
menginvasi Armenia dan mengalahkan pasukan Romawi di dekat Carrhae pada 296
atau 297 SM. Namun, Galerius manghancurkan pasukan Persia dalam Pertempuran Satala pada 298. Dia berhasil menguasai baitulmal dan harem kerajaan. Tindakan ini sangat
memalukan bagi pihak Persia. Perjanjian damai yang disepakati berikutnya
membuat Romawi memperoleh daerah yang terbentang antara Tigris dan Greater
Zab. Ini adalah kemenangan Romawi
paling telak selama puluhan tahun, karena Romawi berhasil menguasai kembali
seluruh wilayah mereka yang pernah hilang, ditambah dengan seluruh wilayah yang
diperebutkan, serta seluruh wilayah Armenia.
Perdamaian pada 299 M berlangsung sampai pertengahan 330-an
M, ketika Shapur II memulai serangkaian serangan
terhadap Romawi. Meskipun memperoleh beberapa kemenangan dalam pertempuran,
kampanyenya tidak memberikan pengaruh jangka panjang: tiga pengepungan Persia
atas Nisibis berhasil dipukul mundur, dan meskipun Shapur sempat menaklukkan
Amida dan Singara, kedua kota itu dengan cepat direbut kembali oleh Romawi.
Shapur sibuk memerangi serangan kaum nomad terhadap Persia pada 350-an M
sehingga tidak mengurusi Romawi, namun setelah itu dia melancarkan kampanye
baru lagi pada 359 Ma dan lagi-lagi menaklukkan Amida. Tindakan ini memicu
serangan balasan oleh kaisar Romaw, Julianus, yang menyusuri Efrat sampai ke
Ktesiphon. Julianus memenangkan Pertempuran Ktesiphon namun tidak dapat merebut ibu kota
Persia itu dan mundur sampai ke Tigris. Diserang ole Persia, Julianus terbunuh
dalam sebuah
pertempuran kecil.
Dengan terjebaknya pasukan Romawi di pesisir barat Efrat, penerus Julianus, Jovianus menyepakati perjanjian dengan
Persia. Dia menyerahkan beberapa wilayah dengan syarat pasukan Romawi diizinkan
keluar dari wilayah Sassaniyah dengan selamat. Romawi menyerahkan wilayah
kekuasaan mereka di sebelah timur Tigris, selain juga Nisibis dan Singara.
Setelah itu Shapur dengan cepat menaklukkan Armenia. Pada 384 atau 387 M,
perjanjian damai disepakati oleh Shapur
III dan Theodosius I, yang membagi Armenia menjadi dua, masing-masing untuk
Romawi dan Persia. Sementara itu, wilayah utara Romawi diserang oleh suku Hun, Alan, dan Jermanik, sedangkan wiayah utara Persia
terancam pertama oleh suku Hun dan kemudian oleh orang-orang
Heftalit. Karena kedua
kekaisaran menghadapi ancaman masing-masing, akhirnya keduanya tidak saling
menyerang selama beberapa waktu. Periode damai ini hanya diselingi oleh dua
perang singkat, yang pertama pada 421–422 M dan yang kedua pada 440 M.
Perang Bizantium-Sassaniyah
Perang pecah ketika raja Persia Kavadh I berusaha memperoleh dukungan keuangan secara paksa dari Kaisar Romawi Bizantium, Anastasius I. Pada 502 M, dia dengan cepat
menaklukkan kota Theodosiopolis yang tidak siap diserang dan kemudian mengepung Amida. Pengepungan kota-benteng itu terbukti jauh lebih sulit
dari pada yang Kavadh perkirakan; pasukan bertahan berhasil menahan serangan
Persia selama tiga bulan sebelum akhirnya dikalahkan. Pada 503 M, Romawi
berupaya merebut kembali Amida namun gagal. Sementara itu Kavadh menginvasi
Osroene, dan kemudian mengepung Edessa yang berujung kegagalan. Akhirnya pada
504 M, Romawi merebut Amida melalui investasi
militer. Pada
tahun tersebut, gencatan senjata tercapai sebagai akibat dari invasi Armenia
oleh suku Hun dari Kaukasus. Meskipun kedua pihak bernegosiasi, baru pada bulan
November 506 M perjanjian tersebut disetujui. Pada 505 M, Anastasius
memerintahkan pembangunan kota berbenteng besar di Dara. Pada saat yang sama, perbentengan
yang rusak juga diperbaharui di Edessa, Batnae dan Amida. Meskipun tidak ada lagi
konflik berskala besar yang terjadi selama sisa masa pemerintahan Anastasius,
namun ketegangan terus berlanjut, khususnya ketika pembangunan berlangsung di
Dara. Ini karena pembangunan perbentengan baru di zona perbatasan oleh kedua
kekaisaran sebenarnya telah dilarang melalui perjanjian yang telah disepakati
beberapa dekade sebelumya. Akan tetapi Anastasius terus melanjutkan proyek ini
meskipun Persia merasa keberatan. Tembok pertahanannya sendiri selesai dibangun
pada 507–508 M.
Perang Iberia
Pada 524–525 M, Kavadh mengusulkan pada Justinus I untuk mengadopsi putranya, Khosrau, namun perundingan mereka berakhir dengan kegagalan.
Ketegangan antara kedua pihak berujung kepada konflik ketika Iberia Kaukasus di bawah Gourgen membelot dan berpihak kepada Romawi
pada 524–525 M. Pertempuran terbuka Romawi–Persia pecah di daerah Transkaukasus dan Mesopotamia hulu pada 526–527
M. Pada tahun-tahun awal dalam perang tersebut, Persia lebih unggul: pada 527
M, pemberontakan Iberia berhasil dipadamkan, serangan Romawi ke Nisibis dan Thebetha pada tahun tersebut juga berhasil
dipukul mundur, selain itu pasukan Romawi yang dikerahkan untuk melindungi Thannuris dan Melabasa juga berhasil dihalau oleh Persia.
Berupaya memperbaiki kekurangan yang telah dimanfaatkan oleh Persia, kaisar
Romawi yang baru, Justinianus I, mengatur ulang pasukan Romawi.
Pada 530 M, sebuah serangan besar Persia di Mesopotamia
dikalahkan oleh pasukan Romawi di bawah Belisarius pada Pertempuran Dara, sedangkan serangan kedua Persia ke Kaukasus dikalahkan
oleh Sittas di Satala. Belisarius dikalahkan oleh pasukan
Persia dan Lakhmid dalam Pertempuran
Callinicum pada 531
M. Pada tahun yang sama Romawi merebut beberapa benteng di Armenia, sementara
Persia menaklukkan dua benteng di Lazika timur. Tidak lama setelah kegagalan di
Callinicum, Romawi dan Persia berunding tanpa
hasil. Kedua pihak kembali berunding pada musim semi 532 M dan akhirnya
menyepakati Perdamaian Abadi pada bulan September 532 M, yang hanya bertahan
kurang dari delapan tahun. Kedua pihak setuju untuk mengembalkan semua wilayah
yang mereka rebut, dan Romawi bersedia membayar sejumlah 110 centenaria
(11,000 pon emas). Iberia tetap berada di tangan Persia, dan orang-orang
Iberia yang telah meninggalkan negeri mereka diberi pilihan untuk tetap tinggal
di wilayah Romawi atau kembali ke tempat asal mereka.
Justinianus vs. Khosrau I
Persia melanggar "Kesepakatan Perdamaian Abadi"
pada 540 M, kemungkinan sebagai tanggapan akibat penaklukan ulang Romawi
di banyak bekas wilayah Kekaisaran Romawi
Barat, yang
ikut dibantu dengan berhentinya perang di Timur. Khosrau I menginvasi dan
meluluhlantakkan Suriah, merampas sejumlah besar uang dari kota-kota di Suriah
dan Mesopotamia, dan secara sistematis menjarah kota-kota lainnya termasuk Antiokhia, yang penduduknya dikirim ke wilayah Persia. Belisarius,
dipanggil dari kampanye di Barat untuk menghadapi ancaman Persia, melancarkan
kampanye terhadap Nisibis pada 541 M yang berakhir inkonklusif. Khosrau
melancarkan serangan lainnya di Mesopotamia pada 542 M ketika dia berupaya
menaklukkan Sergiopolis. Dia mundur dengan cepat ketika
menghadapi pasukan Romawi di bawah Belisarius, menjarah dan merusak kota
Callinicum dalam perjalannya. Serangan terhadap sejumlah kota Romawi berhasil
dipukul mundur, dan pasukan Persia dikalahkan di Dara. Pada 543 M, Romawi
melancarkan serangan ke Dvin namun dikalahkan oleh sejumlah
kecil pasukan Persia di Anglon. Khosrau mengepung Edessa pada 544
M namun gagal dan akhirnya disuap oleh pasukan bertahan. Setelah penarikan
mundur pasukan Persia, utusan dari Romawi datang ke Ktesiphon untuk melakukan
perundingan. Perjanjian damai selama lima disepakati pada 545 M, dan dijamin
dengan pembayaran Romawi kepada Persia.
Pada awal 548 M, raja Gubazes dari Lazika mendapati bahwa negerinya ditindas
oleh Persia. Dia pun meminta kaisar Justinianus untuk mengembalikan protektorat
Romawi di sana. Justinianus mengambil kesempatan itu, dan pada 548–549 M
pasukan gabungan Romawi dan Lazika berhasil meraih serangkaian kemenangan atas
pasukan Persia, meskipun mereka gagal merebut garnisun kunci di Petra. Kota tersebut pada akhirnya
diduduki pada 551 M, namun pada tahun yang sama, serangan Persia di bawah Mihr-Mihroe berhasil menduduki Lazika timur.
Gencatan senjata yang telah disepakati sebelumnya pada 545 SM kembali
diperbaharui di dekat Lazika untuk lima tahun berikutnya dengan ketentuan bahwa
Romawi harus memabayr 2,000 pon emas tiap tahun. Di Lazika perang
berlangsung inkonklusif selama beberapa tahun, dan kedua pihak tidak mampu
memperoleh kesuksesan yang berarti. Khosrau, yang kini harus berurusan dengan Suku
Hun Putih,
memperbaharui gencatan senjata pada 557 SM, kali ini tanpa meliputi Lazika;
negosiasi berlangsung untuk perjanjian damai tanpa batasan yang jelas. Pada
akhirnya, pada 561 M, utusan Justinianus dan Khosrau menyepakati perdamaian
selama lima puluh tahun. Persia sepakat untuk mengevakuasi Lazika sedangkan
Romawi diharuskan membayar 30,000 nomismata (solidi) tiap tahun. Kedua
pihak juga sepakat untuk tidak membangun perbentengan baru di dekat perbatasan
dan melonggarkan pembatasan dalam hal diplomasi dan perdagangan.
Perang Kaukasus
Perang kembali pecah ketika Armenia dan Iberia memberontak
terhadap pemerintahan Sassaniyah pada 571 M, menyusul bentrokan yang
melibatkan proksi Romawi dan Persia di gurun Yaman dan Suriah, dan perundinagn
Romawi untuk bersekutu dengan Suku
Turk melawan Persia. Justinus II menjadikan Armenia di bawah perlindungannya, sementara
pasukan Romawi di bawah keponakan Justinus, Marcianus menggempur Arzanene dan menginvasi Mespotamia Persia,
mereka mengalahkan pasukan lokal di sana. Pemberhentian Marciaus yang mendadak
serta kedatangan pasukan Persia di bawah Khosrau berujung pada penggempuran
Suriah oleh Persia, serta gagalnya kepungan Romawi di Nisibis dan jatuhnya Dara
ke tangan Persia. Romawi bersedia membayar 45,000 solidi dan gencatan senjata selama satu tahun akhirnya disepakati
di Mesopotamia (kemudian diperpanjang sampai lima tahun). Akan tetapi di
Kaukasus dan di perbatasan gurun lainnya peperangan terus berlanjut. Pada 575
M, Khosrau I berupaya untuk menggabungkan agresi di Armenia dengan diskusi
terkait perdamaian permanen. Dia menginvasi Anatolia dan menjarah Sebasteia,
namun setelah bentrokan di dekat Melitene, pasukan Persia menderita kerugian yang besar ketika
berusaha mundur menyeberangi Efrat di bawah serangan Romawi.
Romawi memanfaatkan kekacauan Persia, dan jenderal Justinianus menginvasi wilayah Persia dan
menyerang Atropatene. Khosrau awalnya meminta berdamai,
namun mengabaikan inisiatif ini setelah Tamkhusro meraih kemenangan di Armenia, di
sana tindakan Romawi tidak mendapat dukungan dari penduduk lokal. Pada musim
semi 578 M perang di Mesopotamia berlanjut dengan serangan Persia terhadap
wilayah Romawi. Jenderal Romawi Mauricius membalas dengan menyerang
Mesopotamia Persia, merebut benteng Aphumon, dan menjarah Singara. Khosrau
sekali lagi meminta perundingan damai namun dia keburu meninggal pada 579 M dan
penerusnya Hormizd
IV lebih suka melajutkan peperangan.
Selama tahun 580-an M, perang berlanjut inkonklusif dengan
kemenangan di kedua pihak. Pada 582 M, Mauricius memenangkan pertempuran di
Konstantia atas Adarmahan dan Tamkhusro, yang terbunuh, namun jenderal Romawi
itu tidak menindaklanjuti kemenangannya; dia harus cepat-cepat pergi ke Konstantinopel untuk mengejar ambisi menjadi penguasa Romawi. Kemenangan
Romawi lainnya dalam Pertempuran
Solakhon pada 586
M juga tidak berhasil memecah kebuntuan.
Persia merebut Martyropolis melalui pengkhianatan pada 589 M,
namun tahun tersebut kebuntuan hancur ketika jenderal Persia Bahram
Chobin, setelah
dipecat dan dan dihina oleh Hormizd IV, bangkit memimpin pemberontakan. Hormizd
digulingkan dalam sebuah kudeta di istana pada 590 M dan digantikan oleh
putranya Khosrau II, namun Bahram tetap saja meneruskan
pemberontakannya dan mengalahkan Khosrau, yang terpaksa harus menyelamatkan
diri ke wilayah Romawi, sementara Bahram merebut takhta dengan gelar Bahram VI.
Dengan dukungan dari Mauricius, Khosrau memimpin pemberontakan melawan Bahram,
dan pada 591 M, pasukan gabungan Romawi dan Khosrau berhasil mengalahkan Bahram
dan dengan demikian Khosrau dapat kembali bertakhta. Sebagai imbalan karena
telah membantunya, Khosrau tidak hanya mengembalikan Dara dan Martyrooplis,
namun dia juga menyerahkan paruh barat Iberia dan lebih dari setengah Armenia
Persia kepada Romawi.
Klimaks
Pada 602 M pasukan Romawi yang sedang melakukan kampanye militer di Balkan memberontak di bawah pimpinan Phocas, yang kemudian berhasil merebut takhta dan membunuh
Mauricius beserta keluarganya. Khosrau II memanfaatkan pembunuhan itu sebagai
pembenaran untuk dapat kembali menyerang Romawi. Pada awal perang, Persia menikmati
kesuksesan yang luar biasa dan belum pernah terjadi sebelumnya. Mereka dibantu
oleh siasat Khosrau yang menggunakan seseorang yang berpura-pura sebagai putra
Mauricius, juga oleh pemberontakan terhadap Phocas yang dipimpin oleh seorang
jenderal Romawi, Narses. Pada 603 M Khosrau mengalahkan dan membunuh jenderal
Romawi, Germanus, di Mesopotamia dan kemudian mengepung Dara. Meskipun pasukan
bantuan Romawi datang dari Eropa, Khosrau kembali memperoleh kemenangan lainnya
pada 604 M, sementara Dara takluk setelah dikepung selama sembilan bulan.
Selama tahun-tahun berikutnya, satu demi satu kota-kota benteng di Mesopotamia
takluk setelah dikepung oleh Persia. Pada saat yang sama, Persia juga meraih
kemenangan di Armenia dan secara sistematis menguasai garnisun Romawi di
Kaukasus.
Phocas digulingkan pada 610 M oleh Heraclius, yang berlayar ke Konstantinopel dari Karthago. Pada saat yang sama Persia telah menyelesaikan penaklukan
mereka di Mesopotamia dan Kaukasus, dan pada 611 M mereka menyerbu Suriah dan
memasuki Anatolia, serta menduduki Caesarea. Setelah mengusir Persia dari Anatolia pada 612 M, Heraclis
melancarkan serangan balasan ke Suriah pada 613 M. Dia secara telak dikalahkan
di dekat Antiokhia oleh Shahrbaraz dan Shahin dan dengan demikian posisi Romawi
pun semakin rawan. Selama beberapa dekade berikutnya, Persia berhasil
menaklukkan Palestina dan Mesir, serta meluluhlantakkan Anatolia.
Sementara itu, suku
Avar dan bangsa Slav mengambil keuntungan dari situasi ini untuk menyerbu Balkan, yang pada gilirannya ikut menambah kehancuran pada
Kekaisaran Romawi.
Selama masa tersebut, Heraclius berusaha membangun kembali
pasukan Romawi. Dia memotong pengeluaran nonmiliter yang tidak penting,
mendevaluasi mata uang dan melebur lempeng gereja, dengan dukungan Patriark Sergius, untuk memperoleh dana yang dibutuhkan untuk melanjutkan
peperangan. Pada 622 M, Heraclius berangkat dari Konstantinopel, memercayakan
kota kepada Sergius dan jenderal Bonus sebagai wali anaknya. Dia menghimpun
pasukannya di Asia Kecil dan, setelah melakukan latihan untuk meningkatkan
moral mereka, dia melancarkan serangan balasan, yang mengambil ciri perang
suci. Di Kaukasus dia mengalahkan
pasukan Arab sekutu Persia, dan kemudian meraih kemenangan atas Persia di bawah
Shahrbaraz. Menyusul masa tenang pada 623 M, ketika Heraclius merundingkan
kesepakatan damai dengan suku Avar, dia melanjutkan kampanyenya di Timur pada
624 M dan mengusir pasukan pimpinan Khosrau di Ganzak, Atropatene. Pada 625 M, dia
mengalahkan jenderal Shahrbaraz, Shahin dan Shahraplakan di Armenia, dan dalam sebuah
serangan kejutan pada musim dingin pada tahun yang sama dia menggempur markas
Shahrbaraz dan menyerang pasukannya dalam bilet musim dingin mereka Didukung
oleh pasukan Persia pimpinan Shahrbaraz, suku Avar dan Slav mencoba mengepung
Konstantinopel pada 626 namun gagal, sementara pasukan Persia kedua di bawah
Shahin kembali menderita kekalahan di tangan saudara Heraclius, Theodore.
Sementara itu, Heraclius membentuk persekutuan dengan suku
Turk, yang mengambil keuntungan ketika
kekuatan Persia melemah. Suku Turk memorak-perandakan wilayah Persia di Kaukasus. Pada akhir 627 M,
Heraclius melancarkan serangan musim dingin ke Mesopotamia, di sana, meskipun
kontingen Turk tidak mau ikut menyerang, Heraclius tetap dapat mengalahkan
Persia dalam Pertempuran Nineweh. Dia terus bergerak ke selatan di
sepanjang Tigris dan menjarah istana agung Khosrau di Dastagird. Dia sebenarnya
hendak menyerang Ktesiphon juga namun gagal karena jembatan di Kanal Nahrawan
dihancurkan. Karena terus mengalami kekalahan, Khosrau digulingkan dan dibunuh
dalam sebuah kudeta oleh putranya sendiri Kavadh
II, yang langsung saja meminta
perdamaian. Supaya dapat berdamai, Kavadh bersedia menarik pasukan Persia dari
semua wilayah yang sebelumnya mereka rebut. Heraclius mengembalikan Salib
Suci ke Yerusalem dengan perayaan yang megah pada 629.
Akibat
Dampak yang menghancurkan dari perang terakhir ini, menambah
efek kumulatif dari konflik seabad yang hampir tanpa henti, membuat kedua
kekaisaran menjadi sangat lemah. Ketika Kavadh II meninggal hanya beberapa
bulan setelah naik takhta, Persia dilanda kekacauan dinasti dan perang saudara
selama beberapa tahun. Sassaniyah menjadi makin lemah dengan adanya penurunan
dalam bidang ekonomi, pajak yang berat untuk membiayai kampanye Khosrau II,
kerusuhan agama, dan meningkatnya kekuasaan tuan
tanah provinsi.
Kekaisaran Romawi juga sangat terpengaruh, dengan cadangan keuangannya terkuras
oleh perang, dan Balkan kini sebagian besar dikuasai oleh bangsa Slav Selain
itu, Anatolia juga porak-poranda akibat invasi berulang oleh Persia; kekuasaan
Romawi di wilayah yang baru saja diperolehnya di Kaukasus, Suriah, Mesopotamia,
Palestina, dan Mesir mulai goyah akibat pendudukan Persia selama
bertahun-tahun.
Kedua pihak tidak memiliki kesempatan untuk memulihkan diri,
karena hanya beberapa tahun kemudian mereka diserbu oleh oleh orang Arab, yang telah disatukan oleh Islam. Menurut Howard-Johnston, serbuan
orang Arab itu "hanya dapat disamakan dengan tsunami manusia".
Menurut George Liska, "Konflik panjang yang tidak perlu antara Bizantium
dan Persia telah memberi jalan bagi Islam". Kekaisaran Sassaniyah dengan
cepat menyerah terhadap serangan ini dan pada akhirnya benar-benar takluk.
Selama Perang Bizantium–Arab, wilayah provinsi timur dan selatan Kekaisaran
Romawi, yang sudah lemah, yang baru saja diperoleh kembali oleh Romawi, yaitu Suriah, Armenia, Mesir dan Afrika Utara, pada akhirnya lepas kembali, mengurangi wilayah Romawi
menjadi tinggal sebagian Anatolia serta daerah-daerah dan pulau-pulau yang
terpencar-pencar di Balkan dan Italia. Wilayah Romawi yang tersisa itu juga
terus-menerus diserang, menandai peralihan dari peradaban perkotaan klasik ke
bentuk masyarakat abad pertengahan yang lebih bersifat pedesaan. Akan tetapi,
tidak seperti Persia, Kekaisaran Romawi (dalam bentuk Kekaisaran Bizantium)
berhasil bertahan dari gelombang serangan Arab. Romawi bertahan di sisa-sisa
wilayahnya dan dua kali secara telak berhasil memukul mundur pengepungan Arab
atas ibu kotanya, yaitu pada 674–678
M dan 717–718 M. Kekaisaran Romawi juga kehilangan wilayahnya di Kreta dan Italia selatan akibat direbut oleh Arab dalam konflik berikutnya, meskipun wilayah-wilayah tersebut berhasil diambil kembali oleh Romawi.
Strategi dan siasat militer
Ketika Kekaisaran Romawi dan Parthia bentrok untuk pertama
kali, tampak bahwa Parthia memiliki potensi untuk mendorong garis depannya
sampai ke Aigea dan Mediterania. Namun, di bawah
Pacorus dan Labienus, Romawi menghalau invasi besar terhadap Suriah dan secara
perlahan-lahan mampu mengambil keuntungan dari lemahnya sistem militer Parthia,
yang, menurut George
Rawlinson, sesuai
untuk pertahanan nasional namun kurang cocok untuk penaklukan. Romawi, di lain
pihak, terus-menerus memodifikasi dan memperbaharui "siasat utama"
mereka sejak masa Trajanus, dan pada akhirnya Pacorus dapat melancarkan
serangan terhadap Parthia. Seperti halnya Sassaniyah pada akhir abad ke-3 dan
ke-4 M, Parthia secara umum menghindari pertahanan berkelanjutan atas
Mesopotamia dalam menghadapi Roamwi. Akan tetapi, dataran
tinggi Iran
tidak pernah berhasil ditaklukkan oleh Romawi. Ini disebabkan ekspedisi Romawi
selalu sudah mengalami kelelahan ketika mencapai Mesopotamia hilir, dan jalur
komunikasi mereka yang sangat panjang melalui wilayah yang tidak cukup
bersahabat menjadikan pasukan Romawi rawan terhadap adanya pemberontakan dan
serangan balik.
Sejak abad ke-4 M, Sassaniyah Persia tumbuh kuat dan
mengambil alih peran sebagai agresor. Mereka merasa bahwa banyak daerah yang
diperoleh Romawi pada masa Parthia dan masa awal Sassaniyah sebenarnya merupakan
wilayah milik Persia. Everett Wheeler berpendapat bahwa "Sassaniyah,
secara administratif lebih terpusat daripada Parthia, secara formal mengatur
pertahanan wilayah mereka, meskipun mereka kekurangan pasukan tempur sampai
masa Khosrau I". Secara umum, Romawi mengakui bahwa Sassaniyah merupakan
ancaman yang lebih serius daripada Parthia, sementara Sassaniyah menganggap
Kekaisaran Romawi sebagai musuh terkuat.
Secara militer, seperti halnya Parthia, Sassaniyah amat
sangat tergantung pada pemanah berkuda ringan dan katafrakt, kavaleri berbaju zirah berat yang disediakan oleh aristokrasi.
Mereka menambahkan kontingen gajah perang yang didapat dari Lembah Sungai Indus, namun kualitas infantri mereka kalah bagus jika dibandingkan dengan prajurit
Romawi. Kavaleri berat Persia menimbulkan beberapa kekalahan terhadap prajurit
pejalan kaki Romawi, termasuk terhadap pasukan pimpinan Crassus pada 53 SM,
Markus Antonius pada 36 SM, dan Valerianus pada 260 M. Kebutuhan
untuk mengatasi ancaman ini berujung pada diperkenalkannya cataphractarii
ke dalam pasukan Romawi; akibatnya, kavaleri berbaju zirah berat menjadi
semakin penting baik bagi pasukan Romawi maupun Persia setelah abad
ke-3 M, dan sampai akhir perang. Romawi telah meraih dan mempertahankan
kecanggihan tingkat tinggi dalam hal peperangan kepung, dan telah mengembangkan
berbagai macam mesin kepung. Di lain pihak, Parthia kurang ahli
dalam mengepung; pasukan kavaleri mereka lebih cocok untuk siasat serang dan kabur yang mampu menghancurkan kereta
kepung Antonius pada 36 SM. Situasi ini berubah dengan bangkitnya
Sassaniyah. Dengan berdirinya Sassaniyah, Romawi kini berhadapan dengan musuh
yang memiliki kemampuan yang setara dalam hal kepung-mengepung. Sassaniyah
mampu memanfaatkan artileri, mesin-mesin yang dirampas dari Romawi, tanggul, dan menara kepung.
Menjelang akhir abad ke-1 M, Romawi mengatur ulang
perlindungan perbatasan timurnya dengan suatu garis perbentengan, yaitu sistem limes, yang bertahan sampai datangnya
penaklukan Muslim pada abad ke-7 M setelah perbaikan oleh Diocletianus. Seperti
halnya Romawi, Sassaniyah juga membangun dinding pertahanan yang menghadap ke
wilayah musuh mereka. Menurut R. N. Frye, pada masa pemerintahan Shapur II,
sistem Persia dikembangkan, kemungkinan meniru Diocletianus yang membangun limes
di perbatasan Suriah dan Mesopotamia di Kekaisaran Romawi. Unit perbatasan
Romawi dikenal sebagai limitanei, dan mereka berhadapan dengan Lakhmid di Irak, yang sering membantu Persia menyerang Romawi. Shapur
menginginkan adanya kekuatan pertahanan permanen melawan suku-suku Arab lainnya
di gurun, khususnya suku-suku yang bersekutu dengan Romawi. Shapur juga
membangun garis perbentengan di barat yang meniru sistem limes Romawi,
yang membuat orang-orang Sassaniyah terkesan.
Pada masa awal kekuasaan Sassaniyah, sejumah negara
oenyangga ada antara kedua kekaisaran. Seiring waktu, negara-negara penyangga
itu dikuasai oleh kedua kekaisaran, dan pada abad ke-7 M negara penyangga
terakhir, Lakhmid Arab Al-Hirah, dikuasai oleh Kekaisaran
Sassaniyah. Frye mengamati bahwa pada abad ke-3 M negara klien semacam itu
memainkan peranan penting dalam hubungan Romawi–Sassaniyah, namun kedua
kekaisaran secara berangsur-angsur mengganti negara macam itu dengan sistem
pertahanan yang terorganisir yang diatur oleh pemerintah pusat, dan didasarkan
pada limes serta kota-kota berbenteng di perbatasan, misalnya Dara.
Studi dan penelitian terkni yang membandingkan Sassaniyah dan Parthia
menunjukkan bahwa Sassaniyah memang lebih unggul dalam teknik pengepungan serta
organisasi dan rekayasa militer, selain juga kemampuan untuk
membangun pertahanan.
Tanggapan
Perang Romawi–Persia disebut sebagai konflik yang
"sia-sia" dan terlalu "menekan dan melelahkan untuk
dipikirkan". Secara profetis, Kassios
Dio mengamati "siklus konfrontasi
bersenjata tanpa akhir" ini dan berpendapat bahwa "telah
diperlihatkan sendiri oleh fakta-fakta bahwa penaklukan (Severus) merupakan sumber perang dan
pengeluaran yang besar dan konstan bagi kita. Karena konflik ini hanya
menghasilkan sedikit dan menyedot sejumlah banyak; dan kini kita telah mencapai
bangsa-bangsa yang merupakan tetangga orang Medes dan Parthia bukannya tetangga
kita sendiri, kita selalu, jika boleh dibilang, melakukan pertempuran yang
seharusnya dilakukan oleh orang-orang itu. "Dalam rangkaian panjang perang
antara dua kekuatan besar itu, garis depan di Mesopotamia hulu cenderung tidak berubah.
Para sejarawan mengamati bahwa kestabilan garis depan selama berabad-abad itu
luar biasa, meskipun Nisibis, Singara, Dara dan kota-kota lainnya di
Mesopotamia hulu berpindah tangan seiring waktu, dan kepemilikian kota-kota
perbatasan ini membuat kekaisaran yang memilikinya memperoleh keuntungan dalam
hal perdagangan atas musuhnya.
Kedua
belah pihak berupaya untuk membenarkan tujuan militer mereka dengan cara yang
aktif dan reaktif. Cita-cita Romawi untuk menguasai dunia ditambah dengan
dengan rasa kebanggaan dalam peradaban barat, serta diperkuat dengana danya ambisi untuk menjadi penjaga
perdamaian dan keteraturan. Sumber-sumber dari Romawi memperlihatkan prasangka
lama berkaitan dengan adat, struktur agama, bahasa, dan bentuk pemerintahan
negara-negara di Timur. John F. Haldon menggarisbawahi bahwa "meskipun
konflik antara Persia dan Romawi Timur berkutat di sekitar isu mengenai kendali
strategis di sekitar perbatasan timur, namun selalu ada unsur ideologi dan
agama yang muncul". Sejak masa Konstantinus, kaisar Romawi mengangkat diri
mereka sendiri sebagai pelindung orang-orang Kristen di Persia. Sikap ini
menciptakan kecurigaan yang besar terhadap kesetiaan orang Kristen yang tinggal
di Iran Sassaniyah, dan seringkali berujung pada ketegangan Romawi–Persia atau
bahkan konfrontasi militer. Satu ciri dari fase final konflik ini, ketika apa
yang telah dimulai pada 611-612 M sebagai perang penyergapan dengan segera berubah
menjadi perang penaklukan, adalah penggunaan Salib sebagai simbol kejayaan
imperial, dan juga unsur keagamaan yang kuat dalam propaganda imperial Romaw;
Heraclius menegcam Khosrau sebagai musuh Tuhan, dan para penulis pada abad ke-6
dan ke-7 M sangat memusuhi Persia. Trradisi pemikiran bersejarah
"pro-Romawi" ini bertahan selama berabad-abad, dan baru pada zaman
sekarang para sejarawan mengadopsi pendekatan yang lebih luas, dan berusaha
untuk memperjelas posisi Persia yang kurang diketahui (https://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Romawi-Persia).
b.
Perang Punisia
Perang Punisia adalah peperangan yang terjadi
antara Romawi dengan Kartago antara tahun 264 hingga 146 SM, dan merupakan perang terbesar di dunia kuno. Kata Punisia
sendiri berasar dari kata Punici,
yang memiliki arti Bangsa Fenisia dalam bahasa Latin. Perang
ini terjadi akibat adanya keinginan Republik Romawi untuk memperluas daerah
kekuasaannya. Niat ini awalnya berlangsung tanpa hambatan yang berarti
(hambatan disini berarti perlawanan dari penduduk asli) hingga akhirnya
Republik Romawi berhadapan dengan Kerajaan Kartago. Pertempuran berlangsung
dengan korban mencapai ratusan ribu prajurit. Sebelum serangan Republik Romawi
pada Perang
Punisia I,
Kekaisaran Kartago adalah penguasa daerah Mediterania dengan maritimnya yang kuat. Hingga akhirnya pada Perang
Punisia III,
Republik Romawi berhasil menghancurkan Kartago dan menghancurkan ibukotanya, sehingga menjadikan Republik Romawi sebagai penguasa
terkuat di Mediterania bagian barat.
Peperangan ini merupakan titik balik yang berarti bahwa
peradaban Mediterania kuno akan menjadi dunia modern
melalui Eropa, bukan melalui Afrika. Kemenangan Romawi terhadap Kartago dalam
peperangan ini memberikan Romawi status unggul hingga pembagian Romawi. Pada tahun 264 SM, Kartago adalah kota pelabuhan besar yang terletak di pantai Tunisia modern. Didirikan oleh bangsa Fenisia pada pertengahan abad
ke-9 SM, Kartago merupakan negara-kota yang kuat. Di Mediterania Barat, hanya Republik Romawi yang dapat menyaingi
kekuasaan, kekayaan dan populasi Kartago. Sementara angkatan laut Kartago
merupakan yang terbesar di dunia kuno pada saat itu, Kartago tidak memiliki
angkatan bersenjata yang besar dan permanen, namun bergantung pada tentara bayaran, menyewanya untuk peperangan. Namun, kebanyakan perwira
yang mengkomandokan tentara adalah penduduk Kartago. Kartago terkenal akan
kemampuan mereka sebagai pelaut, dan tidak seperti angkatan bersenjata mereka,
banyak bangsa Kartago dari kelas bawah bekerja di angkatan laut, yang
menyediakan karier dan pendapatan yang cukup.
Pada tahun 264 SM, Republik Romawi telah menguasai semenanjung Italia di sebelah selatan sungai Po. Tidak seperti Kartago, Romawi memiliki angkatan bersenjata
besar yang sebagian besar terdiri dari penduduk Romawi. Penduduk kelas bawah
atau plebeius biasanya menjadi serdadu di legiun Romawi, sementara penduduk kelas atas atau patricius menjadi perwira. Di sisi lain, pada
awal Perang Punisia Pertama, Republik Romawi tidak memiliki angkatan laut dan
menjadi kelemahan mereka, hingga mereka mulai membentuk angkatan laut mereka
sendiri selama perang.
Perang Punisia Pertama
Pada Perang Punisia
Pertama (264 SM - 241 SM) pertempuran bukan hanya terjadi di daratan (Sisilia dan Afrika), namun juga di laut Mediterania. Beberapa perang laut yang
besar juga terjadi. Perang ini berlangsung dengan sengit hingga akhirnya
Republik Romawi menang dan menaklukan Sisilia setelah mengalahkan Kartago dalam Pertempuran
Kepulauan Aegates
yang mengakhiri perang ini. Akibat kekalahannya, selain harus menandatangani
perjanjian yang merugikan dengan Romawi, Kartago juga mengalami guncangan politik maupun militer, sehingga Romawi akhirnya dengan mudah merebut Sardinia dan Korsika dari Kartago, ketika Kartago terjerumus ke dalam perang
tentara bayaran.
Perang Punisia Kedua
Pada Perang Punisia Kedua (218 SM - 202 SM), pasukan Kartago
yang dipimpin oleh Hannibal menyeberangi Laut Mediterania, menyusuri Semenanjung Iberia-dimana dia berhasil menaklukkannya untuk meluaskan
kekuasaan Kartago di Iberia. Kemudian, Hannibal melewati daerah Galia, dimana dia berhasil mendapatkan
banyak pasukan bayaran. Hannibal dan pasukannya lalu bergerak menuju Pegunungan Alpen untuk menyerang Roma dari utara, sebagai upaya untuk
menghindari hadangan Republik Romawi jika melewati daerah pesisir. Hannibal
berhasil memenangkan sejumlah pertempuran dahsyat di daratan Italia, seperti Pertempuran
Trebia, Pertempuran Danau Trasimene dan Pertempuran
Cannae. Tiga
pertempuran ini menjadi kejeniusan Hannibal dalam menghadapi pasukan Romawi
yang jumlanya lebih banyak. Meski Hannibal berhasil mengalahkan Romawi di
daratan Italia, serta beberapa aliansi Republik Romawi terutama daerah Italia
bagian selatan menjadi berpihak kepada Hannibal, tetapi itu tidak cukup untuk
menaklukkan Roma, selain pasukan Hannibal dirasakan kurang cukup untuk
menaklukkan Roma, juga karena Republik Romawi masih didukung oleh sebagian
besar aliansi-aliansinya.
Republik Romawi yang berhasil bangkit, balik menyerang
daerah yang dikuasai Kerajaan Kartago, yaitu Hispania dan Sisila. Republik Romawi juga mulai
menyerang daerah Yunani-aliansi Kerajaan Kartago. Penyerbuan ke Hispania dipimpin
oleh Scipio
Africanus. Scipio
berhasil menaklukan Hispania untuk Republik Romawi setelah melalui banyak
perang, diantaranya Pertempuran
Ilipa. Setelah
Hispania, Romawi mulai menuju benua Afrika. Hannibal yang masih di Italia ditarik kembali oleh
Kerajaan Kartago untuk melindungi dari serangan Romawi. Pasukan Romawi yang
dipimpin oleh Scipio, dengan bantuan dari Numidia yang dipimpin oleh Masinissa dan pasukan Kartago yang dipimpin
oleh Hannibal akhirnya berperang dalam sebuah pertempuran di Zama. Pasukan Kartago mengalami
kekalahan telak dalam pertempuran ini. Kekaisaran Kartago kembali harus
menandatangani perjanjian yang kali ini membuat Kerajaan Kartago menjadi
benar-benar melemah. Hal ini dibuktikan dengan menghilangnya wilayah kekuasaan
Kartago, sehingga hanya menyisakan kota Kartago. Isi perjanjian yang lain adalah tidak boleh melakukan
peperangan dengan siapa saja dengan alasan apapun dan harus membayar upeti ke
Republik Romawi sampai 50 tahun mendatang.
Perang Punisia Ketiga
Pada Perang Punisia
Ketiga diwarnai
dengan penyerangan Kekaisaran Roma langsung ke jantung
Kekaisaran Kartago, Kota Kartago, pada tahun 149 SM - 146 SM. Dilatar belakangi oleh
seringnya bangsa Numidia melakukan penjarahan di daerah Kartago, Kartago mulai
melawan, yang berarti adalah perang. Republik Romawi yang mengetahui Kartago
melanggar janji, memutuskan untuk menyerang Kartago. Selama hampir tiga tahun,
Republik Romawi menghadapi perlawanan hebat dari Kartago. Namun, Republik
Romawi pada akhirnya menang berhasil menghancurkan Kota Kartago, sekaligus
menandai runtuhnya Kekaisaran Kartago. Para penduduk kota Kartago, hampir
semuanya dijual sebagai budak.
Pada selang waktu antara akhir Perang Punisia Kedua dengan
awal Punisia Ketiga, Republik Romawi berusaha memperluas wilayah menuju daerah peradaban Helenistik, yaitu dengan Kerajaan Seleukus, Makedonia, serta wilayah Illyria (https://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Punisia).
c.
Pertempuran Yarmuk
Pertempuran Yarmuk adalah perang antara Muslim Arab dan Kekaisaran Romawi
Timur pada
tahun 636. Pertempuran ini, oleh beberapa sejarawan, dipertimbangkan
sebagai salah satu pertempuran penting dalam sejarah dunia, karena dia
menandakan gelombang besar pertama penaklukan Muslim di luar Arab, dan cepat masuknya Islam ke Palestina, Suriah, dan Mesopotamia yang rakyatnya menganut agama Kristen. Pertempuran ini merupakan salah satu kemenangan Khalid bin Walid yang paling gemilang, dan memperkuat reputasinya sebagai
salah satu komandan militer dan kavaleri paling brilian di zaman Pertengahan. Pertempuran ini terjadi pada masa pemerintahan Umar bin Khattab, khalifah Rasyidin kedua.
Pertempuran ini terjadi empat tahun setelah Nabi Muhammad meninggal pada 632. Dia dilanjutkan oleh khalifah pertama, Abu Bakar, yang mencoba membawa seluruh bangsa yang bertutur bahasa
Arab di bawah kendali Kaum Muslimin. Pada 633 pasukan Muslim menyerang Suriah,
dan setelah berbagai penghadangan dan pertempuran kecil berhasil merebut Damaskus pada 635. Kaisar Romawi Timur Heraclius mengatur sebuah pasukan sekitar 40.000 orang setelah
mengetahui lepasnya Damaskus dan Emesa. Pergerakan pasukan Romawi Timur
yang besar ini, menyebabkan Kaum Muslimin di bawah Khalid ibn Walid meninggalkan kota-kota, dan mundur ke selatan menuju Sungai
Yarmuk, sebuah penyumbang Sungai Yordan.
Sebagian pasukan Romawi Timur di bawah Theodore Sacellarius
dikalahkan di luar Emesa. Muslim di bawah Khalid ibn Walid bertemu komandan
Romawi Timur lainnya, Baänes di lembah Sungai
Yarmuk pada
akhir Juli. Baänes hanya memiliki infantri untuk melawan kavaleri ringan Arab, karena Theodor telah mengambil kebanyakan
kavaleri bersamanya. Setelah sebulan pertempuran kecil-kecilan, tanpa aksi yang
menentukan, kedua pasukan akhirnya berkonfrontasi pada 20 Agustus.
Menurut sumber Muslim, datanglah pertolongan Allah SWT. Kepada
tentara Islam dengan berhembusnya angin selatan yang kuat meniup awan debu ke
wajah prajurit Romawi Timur, kejadian ini sama persis seperti yang terjadi pada
pasukan persia dalam pertempuran
Qadisiyyah. Prajurit
menjadi lesu di bawah panas matahari Agustus. Meskipun begitu Khalid terdorong
mundur, namun meskipun jumlah pasukannya hanya setengah prajurit Romawi Timur,
mereka lebih bersatu daripada pasukan multinasional Tentara Kekaisaran yang
terdiri dari orang Armenia, Slavia, Ghassanid dan juga pasukan Romawi Timur
biasa.
Menurut beberapa sumber, Kaum Muslimin berhasil memengaruhi
unsur-unsur di pasukan Romawi Timur untuk beralih sisi, tugas ini dipermudah
oleh kenyataan bahwa Kristen Arab, Ghassanid, belum dibayar selama beberap bulan dan yang Kristen Monofisitnya ditekan oleh Ortodoks Romawi Timur. Sekitar 12.000 Arab Ghassanid membelot.
Kemajuan pasukan Kristen di sisi kanan, menuju kamp berisi wanita Arab dan
keluarganya, akhirnya diusir dengan bantuan dari beberapa wanita Arab. Dan
memperbaharui serangan-balik. Prajurit Baänes berhasil dipukul mundur hingga ke
sebuah jurang terjal. Sebagai hasilnya, seluruh Suriah terbuka bagi Kaum Muslimin. Damaskus direbut kembali oleh
Kaum Muslimin dalam waktu sebulan, dan Yerusalem jatuh tidak lama kemudian.
Ketika bencana ini terdengar Heraclius di Antioch,
dinyatakan dia mengucapkan selamat tinggal kepada Suriah, berkata,
"Selamat tinggal Suriah, provinsiku yang indah. Kau adalah seorang musuh
sekarang"; dan meninggalkan Antiokia ke Konstantinopel. Heraclius mulai memusatkan pasukannya untuk mempertahankan
Mesir (https://id.wikipedia.org/wiki/Pertempuran_Yarmuk).
5.
Peninggalanan
Budaya Bangsa Romawi
a.
Seni Bangunan
Bangsa Romawi memiliki keahlian yang
tinggi dalam bidang seni bangunan-mereka telah menemukan sistem beton sehingga
bangunan-bangunan mereka bertahan beberapa abad dan dapat ditemukan
bekas-bekasnya sekarang. Peninggalan bangunan-bangunan Romawi itu antara lain:
1)
Puluhan kuil yang bertebaran di kota Roma.
2)
Pantheon yaitu rumah dewa bagi bangsa Romawi.
3)
Limes yaitu tembok pertahanan yang panjangnya puluhan
kilometer, lebar 2,5 m dan tingginya 6 m.
4)
Amphiteater dan Colloseum yaitu bangunan berbentuk
stadion yang dapat menampung ratusan ribu penonton. Bangunan itu berfungsi
sebagai tempat untuk pertunjukan hiburan. Masyarakat
Romawi umumnya menyenangi hiburan. Pertunjukan yang diadakan di Collosium
antara lain Chairot yaitu kereta perang yang ditarik oleh beberapa ekor kuda.
Gladiator yaitu perkelahian antara manusia dengan manusia atau manusia dengan
binatang buas, ini terjadi pada tahun 75 M.
5)
Circus Maximus untuk pertunjukan hiburan sirkus.
6)
Forum Romanum yaitu gedung pemerintahan.
7)
Cloaca Maxima adalah saluran pengairan untuk
menyalurkan kelebihan air hujan yang hingga sekarang terpelihara dengan baik.
8)
Aquaduk yaitu bangunan saluran air bersih. Bangunan
fisik yang dibangun oleh Romawi memiliki multi fungsi contoh: jalan raya di
atas untuk mempercepat gerakan tentara dari pusat ke daerah sedangkan di
bawahnya untuk keperluan irigasi. Salah satu jalan raya yang kuat yaitu Via
Apia yang masih terpelihara hingga sekarang (Djaja, 2012:30).
b.
Seni Sastra
Pada awalnya perkembangan karya
sastra Romawi mendapat pengaruh yang kuat dari Yunani namun berangsur-angsur
karya mereka menampakkan ciri khas Romawi. Selain penulisan buku Aeneis
karangan Vergelius dan karya Yulius Caesar berjudul De Bello Gallica masih
banyak karya sastra yang dihasilkan oleh para pujangga Romawi kuno, antara lain:
1)
Horatius dengan karyanya berjudul Oda
2)
Livius, seorang sejarahwan yang menulis buku berjudul
Magnum Opus
3)
Lucretuis, seorang filsuf dan penyair. Yang
mengembangkan ajaran filsuf Yunani terkenal yaitu Epi Curuc karyanya berjudul
Hukum Alam ditulis dalam bentuk puisi yang mengupas materi itu terdiri dari
atom.
4)
Ovidius menghasilkan karya sastra berjudul
Metamorphoses.
5)
Cicero yang ahli pidato corator dan memperoleh gelar
“Bapak Prosa Latin”.
6)
Quintilianus, seorang Orator terkenal dan guru
retotika karya utamanya berjudul Institutio Oratorio menjadi buku pelajaran
baku pidato Latin.
7)
Seneca seorang penulis dan pengacara, hasil karyanya
disebut Dialog. Ia adalah guru kaisar Nero (Djaja, 2012:31).
c.
Ilmu
Pengetahuan
Dalam bidang ilmu pengetahuan bangsa
Romawi meneruskan pengetahuan yang telah berkembang pada jaman Yunani kuno.
Diantara para ilmuwan Romawi antara lain Galen, ahli dalam bidang obat-obatan,
anatomi, dan fisiologi. Lucretius yang mengikuti jejak Epicurus dan berpendapat
materi itu terdiri dari atom.
Bangsa Romawi lebih menekankan segi
kepraktisan, bukan teori semata. Sumbangan
bangsa Romawi di bidang kedokteran dan obat-obatan sangat besar bagi dunia
sekarang. Mereka telah menggunakan radas
kedokteran seperti pada gambar di atas. Radas
kedokteran tersebut ditemukan di Pompeii, salah satu diantara 200 perkakas
kedokteran untuk memeriksa bagian dalam ibu yang mengandung. Radas yang
disebut spekulum ini menyerupai radas yang digunakan jaman sekarang.
Pada gambar alat-alat bedah di atas
adalah alat-alat bedah antara lain jepitan (Tweezer). Para dokter berhasil
melakukan operasi gondok, amandel, dan batu ginjal. Para dokter
berhasil menolong kelahiran seorang bayi yang tidak dapat dilahirkan secara
normal yang disebut operasi caesar (disebut demikian karena pertama kali untuk
melahirkan Yulius Caesar). Banyak
istilah-istilah kedokteran sekarang yang menggunakan bahasa Latin.
Pendidikan sangat diperhatikan yang
mengajarkan tentang hukum, bahasa, pengetahuan obat-obatan, berpidato,
patriotisme dan pendidikan jasmani sehingga lahirlah istilah “mensana in
corporesano”. Pada Zama Romawi sudah di kenal katrol yang di gunakan
sebagai alat untuk menaikkan air yang di gunakan untuk keperluan irigasi, yang
menggunakan kombinasi 16 Roda air di dekat Aries, di daerah dekat Prancis (Djaja, 2012:32).
d.
Pemerintahan, Militer dan Hukum
Tata
pemerintahan Romawi tersusun rapi yang dijalankan dengan beberapa sendi sebagai
berikut:
1)
Pemerintahan sentralisasi,
berpusat pada kaisar.
2)
pelaksanaan ketertiban dan keamanan secara ketat.
3)
Komunikasi antara pemerintah pusat dengan daerah
terpelihara dengan baik didukung oleh sarana dan prasarana yang baik.
4)
Hirarki dimulai diimperium-pretectur-dioceses-propinsi
untuk mempertahankan kekuasaan atas wilayah yang sangat luas ditempuh siasat
devide et impera yang kemudian banyak ditiru oleh bangsa-bangsa modern yang
melakukan penjajahan contohnya Belanda di Indonesia.
Bangsa Romawi mampu mengorganisir
kekuatan militernya dengan rapi. Istilah-istilah
yang digunakan itu masih dikenal dalam dunia militer hingga sekarang misalnya
legiun, devisi, kavaleri, infantri dan lain-lain. Semangat
bela negara yang disebut patria protesta ditanamkan sedini mungklin terhadap
warga negaranya. Istilah
tersebut berkembang menjadi kata patriot yang Anda kenal di Indonesia.
Di bidang hukum bangsa Romawi
memberikan sumbangan yang besar dalam menegakkan keadilan. Konsep bahwa semua
orang sama di depan hukum serta adanya asas praduga tak bersalah telah
dikembangkan pada hukum Romawi kuno. Hukum Romawi adil dan manusiawi. Hukum
Romawi berkembang melalui proses sejarah yang panjang sejak pertengahan abad 5
SM sampai lahirnya kitab hukum masa kaisar Yustinianus abad 6 masehi. Kaisar
Yustinianus mengkodifikasikan (membukukan) hukum-hukum Romawi dari
kaisar-kaisar yang memerintah sebelumnya. Kodifikasi
hukum itu disebut Corpus Yuris atau Codex Yustinianus. Codex berisi
kumpulan hukum dasar atau konstitusi sejak jaman Theodosius.Selain Codex ada
Pandect yaitu kumpulan pendapat para ahli hukum. Codex
Yustinianus dijadikan dasar penyusunan Codex Napoleon yang dikembangkan lebih
lanjut menjadi hukum modern hingga sekarang (Djaja, 2012:33).
6.
Pengaruh
Peradaban Romawi Kuno terhadap Masyarakat Indonesia
Sisa kebudayaan Romawi yang
dewasa ini masih dipraktekkan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia antara
lain:
a.
Penggunaan istilah-istilah dalam astronomi dan
astrologi seperti nama-nama planet yang diambil dari nama-nama dewa seperti Mercurius, Venus, Mars, Jupiter, Uranus, dan
Saturnus. Selain itu, penggunaan kata-kata atlas, cancer, sirene, virgo, libra, helio, titan; istilah-istilah
dalam dunia kedokteran seperti hygta,
achiles, hymen, elektra, hipnos; istilah-istilah dalam bidang biologi
seperti flora, fauna, cela, dan recipe;
penggunaan lambang piala ular, min-plus, dan tapak kuda.
b.
Budaya tukar cincin, ulang tahun perkawinan (Emas dan
Perak).
c.
Kebiasaan mengangkat dan membenturkan gelas pada
upacara dan pesta-pesta.
d.
Menaburkan bunga ke makam, mengalungkan karangan
bunga, serta menaburkan bunga ke laut kalau ada yang meninggal di laut.
e.
Perayaan tahun baru 1 Januari, yang pada masa Romawi
merupakan hari penyembahan pada Dewa Janus.
f.
Pesta olahraga Olimpiade.
g.
Menggunakan hari Minggu untuk hari libur. Pada Romawi
Purba, hari Minggu digunakan untuk memuja dewa matahari.
h.
Sistem kenegaraan yang menggunakan sistem Demokrasi (Soeroto, 1965:33).
C.
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Romawi
Kuno adalahsebuah peradaban yang
tumbuh dari negara-kota Roma yang didirikan di Semenanjung
Italia di sekitar abad ke-9 SM. Romawi terletak di Semenanjung
Alpenina (sekarang Italia). Lembah
pegunungan Apenina merupakan lahan subur dan dan cocok dijadikan sebagai lahan
pertanian.
Peradaban Romawi terletak di negara
Italia yang beribu kota di Roma. Menurut kepercayaan, kata Romawi berasal dari
nama nenek moyang bangsa Romawi, yaitu Remus dan Romulus yang merupakan anak dari Rhea Silva, salah satu
keturunan Aeneas (pahlawan perang
Troya).
Ketika kerajaan Romawi berdiri,
kepercayaan masyarakat masih bersifat animism, kemudian berkembang menjadi
kepercayaan politheisme dan menjadi agama Kristen. Peninggalan
bangunan-bangunan Romawi itu antara lain: Puluhan kuil yang bertebaran di
kota Roma, Pantheon yaitu rumah dewa bagi bangsa Romawi, Limes, Amphiteater dan Colloseum.
2.
Saran
Kami menyadari bahwa makalah ini
masih banyak kekurangannya, baik dari sisi penulisan, penyajian maupun dari
sisi bahan yang menjadi pembahasan. Untuk melengkapi kekurangan itu, maka bagi
para pembaca yang ingin lebih mendalami tentang Sejarah
Perkembangan Peradaban Romawi kami
menyarankan untuk mencari sumber lain sebagai referensi tambahan.
D.
REFERENSI
1.
Sumber Buku
Ahyani,
Nur. 2006. Sejarah Eropa. Palembang: FKIP Universitas
PGRI Palembang.
Bauer, Susan Wise. 2016. Sejarah Dunia Kuno (Dari Cerita-cerita Tertua Sampai Jatuhnya Roma).
Jakarta: PT Gramedia.
Djaja, Wahyudi. 2012. Sejarah Eropa Dari Eropa Kuno Hingga Eropa Modern.Yogyakarta:
Penerbit Ombak.
Hoetaoeroek. 1968. Sejarah
Umum. Semarang: Rajawali.
Mansur, Dahlan. 1968. Kita dan Dunia (Peristiwa Dunia Berbentuk Monografi). Jakarta:
Groningen.
Seignobos,
Charles. 2014. Sejarah Peradaban Dunia
Kuno. Yogyakarta: Indoliterasi.
Soeroto. 1966. Indonesia
Di Tengah-Tengah Dunia Dari Abad Keabad. Jakarta: Penerbit Djambatan.
Perry,
Marvin. 2012. Peradaban Dunia (Dari Zaman
Kuno Sampai Zaman Pencerahan). Bantul: Kreasi Wacana.
Wirjosuparto, Sutjipto. 1956. Sedjarah Dunia. Jakarta: Balai Pustaka.
2.
Sumber Internet
https://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Romawi-Persia (diakses pada Selasa, 15 Mei 2017 pukul 20.00 WIB).
https://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Punisia (diakses pada Selasa, 15 Mei 2017 pukul 20.10 WIB).
https://id.wikipedia.org/wiki/Pertempuran_Yarmuk (diakses pada Selasa, 15 Mei 2017 pukul 20.20 WIB).
Komentar
Posting Komentar