EFEKTIVITAS LEMBAGA NEGARA DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA


BAB I
PENDAHULUAN

A.          Latar Belakang
Indonesia adalah negara hukum (rechstaat) hal itu secara tegas terurai dalam konstitusi pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945). Ide negara hukum sesungguhnya telah lama dikembangkan oleh para filsuf dari zamanYunani Kuno, Plato dalam bukunya “the Statesman” dan “the law” menyatakanbahwanegara hukum merupakan bentuk palingbaik kedua(the second best) guna mencegah kemerosotan kekuasaan. Konsep negara hukum modern di Eropa Kontinental dikembangkan denganmenggunakan istilah Jerman yaitu ”rechsstaat” antara lain oleh Imanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain. Sedangkan dalam tradisi Anglo Saxon konsep negara hukum dikembangkan dengan sebutan “The Rule of Law” yang dipelopori oleh A.V, Dicey (Jimly, 2005:152).
Konsekuensilogis dari negara Indonesia sebagai negara hukum adalah menuntut negara untuk memberikan jaminan hak-hak warga negara sesuai dengan prinsip-prinsip yang dianutnya. Salah satu prinsip negara hukum yang paling fundamental adalahprinsip equalty before the law yang merupakanpilar utama dalam prinsip negara hukum yang menghargai kedudukan warga negara dalam pemerintahan dan upaya menegakan hak asasi manusia, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 28 UUD NRI 1945. Prinsip-prinsip negara hukum senantiasa berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta semakin kompleksnya kehidupan masyarakat di era global, menuntut pengembangan prinsip-prinsip negara hukum. Dua isu pokok yang senantiasa menjadi inspirasi perkembangan prinsip-prinsip negara hukum adalah masalah pembatasan kekuasaan dan perlindungan HAM.
Saat ini paling tidak dapat dikatakan terdapat 12 prinsip negara hukum, yaitu supremasi konstitusi (supremasi of law), persamaaan dalam hukum (equality before the law), Asas Legalitas (due process of law), pembatasan kekuasaan (limitation of power), organ pemerintahan yang independen, Peradilan yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial judiciary), Peradilan Tata Usaha Negara (administrative Court), Perlindungan Hak Asasi Manusia, bersifat demokratis (demochratiche-rechsstaat), Berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan bernegara(welfare Rechsstaat), serta transparansi dan kontrol sosial.
Suatu negara hukum mengharuskan adanya pengakuan normatif dan empiris terhadap prinsip supremasi hukum,yaitu bahwa semua masalah diselesaikan dengan mekanisme hukum sebagai pedoman tertinggi. Pengakuan normatif mengenai supremasi hukum terwujud dalam pembentukan norma hukum secara hierarkis yang berpuncak pada supremasi konstitusi, sedangkan secara empiris terwujud dalam perilaku pemerintahan dan masyarakat yang mendasarkan diri pada aturan hukum. Prinsip ini secara yuridis konstitusional telah memberikan landasan dan jaminan setiap warga negara dalam upaya penyelenggaraan negara secara demokratis.
Berdirinya Negara ini tidak hanya ditandai oleh Proklamasi dan keinginan untuk bersatu bersama, akan tetapi hal yang lebih penting adalah adanya UUD 1945 yang merumuskan berbagai masalah kenegaraan. Atas dasar UUD 1945 berbagai struktur dan unsur Negara mulai ada. Undang-undang dibuat harus sesuai dengan keperluan dan harus peka zaman, artinya aturan yang dibuat oleh para DPR kita sebelum di syahkan menjadi Undang-undang sebelumnya harus disosialisasikan dahulu dengan rakyat, apakah tidak melanggar norma- norma adat atau melanggar hak-hak azazi manusia. Salah satu bukti bahwa Undang-Undang yang sudah tidak relevan lagi dengan kondisi zamanya adalah Undang-Undang dasar 1945. Dengan mengalami empat kali perubahan yang masing-masing tujuanya tidak lain hanya untuk bisa sesuai dengan kehendak rakyat dan bangsa kita, dalam arti bisa mewakili aspirasi rakyat yang disesuaikan zamanya.
Dalam praktek bernegara dab pemerintahan, pembagian kekuasaan dalam Negara (sharing of power) merupakan suatu hal yang tak terelakan, bahkan pembagian kekuasaan itu tidak dapat dipisahkan denga esensi hidup bernegara atau tujuan didirikannya Negara. Dalam konteks ini  Tujuan Negara Republik Indonesia adalah: (1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, (2) Memajukan kesejahteraan umum, (3) Mencerdaskan kehidupan bangsa, (4) ikut terlibat dalam perdamaian dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Berdasarkan fakta dan opini yang ada diatas penulis tertarik untuk membahas dan melakukan penelitian dengan judul Efektivitas Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia”.

B.          Pengertian Judul
Pada prinsipnya dalam suatu negara terdapat tiga jenis kekuasaan, yaitu kekuasaan Eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan untukmenjalankan atau melaksanakan undang-undang. Kekuasaan legislatif adalah kekuasaan untuk membuat undang-undang. Sedangkan kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan untuk mengontrol apakah undang-undang dijalankan secara benar atau tidak.
Tujuan awal adanya tiga poros kekuasaan ini pada mulanya adalah mencegah agar supaya kekuasaan negara tidak terpusat pada satu tangan saja, melainkan harus dipisah-pisah antara kekuasaan yang satu dengan kekuasaan yang lainya. Hal ini bertujuan agar tidak terjadi penumpukan kekuasaan, yang biasanya berakibat pada lahirnya kekuasaan yang sewenang-wenang.
Sesungguhnya hal mengenai pembagian kekuasaan dalam sebuah negara telah lama menjadi bahan pemikiran para Ahli Tata Negara, Pada negara-negara kuno dimana urusan yang masih sangat sederhana, keperluan untuk mengadakan pembagian kekuasaan secara teratur dan rapi dalam lapangan ketatanegaraan tersebut dirasakan masih belum mendesak untuk dilakukan. Hal ini berjalan sampai kira-kira abad XVII, dimana seluruh kekuasaan itu dipegang oleh kepala negara sendiri, atau dibagi-bagikan dengan tidak teratur diantara beberapa kepercayaan kepala negara saja. Akan tetapi, berlainan halnya dengan negara-negara modern. Dimana urusan pemerintahanya menjadi sedemikian luasnya, pembagian kekuasaan mau tidak mau harus dilakukan. Kerena setiap tindakan pemerintah harus dipertanggungjwabkan kepada seluruh rakyat.
Dalam praktik kenegaraan terdapat negara yang menganut pemisahan kekuasaan dalam arti materil dan ada pula negara yang menganut pemisahan  kekuasaan  dalam  arti  formal.  Negara  yang menganut pemisahan kekuasaan dalam arti meteril adalah negara yang memisahkan  ketiga  jenis  kekuasaan sepenuhnya negara  tersebut sedangkan negara-negara yang tidak sepenuhnya memisahkan ketiga jenis  kekuasaan negara tersebut  disebut dengan negara  yang menganut pembagian  kekuasaan dalam arti formal.
Selain tiga proses kekuasaan tersebut diatas  ternyata di Indonesia masih dikenal berbagai macam organ/lembaga negara. Dalam perkembanganya, yang domain kekuasaanya cenderung masuk dalam domain kekuasaan eksekutif yang lazim penyebutanya diawali dengan kata depan Komisi. Keseluruhan komisi-komisi negara yang dibentuk dapat eksis dan dibentuk sesuai dengan tuntutan zaman dan kebutuhan reformasi demi menjaga dan menegakan hukum sesuai dengan apa yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa dan yang diharapkan oleh segenap masyarakat Indonesia.
Perubahan  Undang-Undang Dasar 1945 yang telah dilaksanakan pada tahun 1999 sampai dengan tahun 2002 telah membawa perubahan yang sangat mendasar dalam sistem ketatanegraan Republik Indonesia. Banyak aspek perubahan yang telah dirasakan dalam praktik kehidupan berbangsa  dan bernegara, salah satu aspek yang berubah yakni terhadap kelembagaan negara. Penataan ulang struktur ketatanegaraan Indonesia yang terus berlangsung sampai saat ini tidak serta merta berjalan dengan baik tanpa komplikasi ketetanegaraan. Dalam kasus tertentu, memang penataan itu dapat dikatakan relatif berhasil meskipun dengan catatan baru sebatas pembentukan lembaga dan bekerja sesuai dengan kewenangan yang  diberikan, tapi tidak termasuk efektivitas kerja dan implikasinya yang signifikan terhadap ketatanegaraan yang lebih bertanggung jawab.

C.          Metode Penulisan
1.            Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a)            Data primer, adalah data yang diperoleh melalui penelitian lapangan dengan pihak-pihak yang terkait sehubungan dengan penelitian ini. Adapun cara memilih yang dilakukan oleh penulis yaitu dengan melihat keseharian dan kepakaran pihak.
b)           Data sekunder, adalah data yang diperoleh melalui studi kepustakaan, yaitu dengan menelaah literature artikel, serta peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sumber data penelitian ini adalah:
a)            Penelitian Pustaka (library research), yaitu menelaah berbagai buku kepustakaan,koran dan karya ilmiah yang ada hubunganya dengan objek penelitian.
b)           Penelitian lapangan (field research), yaitu pengumpulan data dengan mengamati secara sistematis terhadap fenomena-fenomena yang diselidiki dan melakukan wawancara dan diskusi dengan akademisi, praktisi, dan masyarakat.

2.            Teknik Pengumpulan Data
Teknik  pengumpulan  data  yang  digunakan  dalam  penelitian  ini adalah:
a)            Studi Dokumentasi, yaitu teknik pengumpulan data dengan cara mencatat dokumen-dokumen (arsip) yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dikaji.
b)           Wawancara, yaitu teknik pengumpulan data dangan cara tanya jawab baik secara langsung maupun tidak langsung dengan Akademisi, Praktisi, dan masyarakat kaitanya dengan judul yang akan penulis teliti.

3.            Analisis Data
Data yang diperoleh dari data   primer dan data sekunder akan diolah dan dianalisis berdasarkan rumusan masalah yang telah diterapkan sehingga diharapkan dapat diperoleh gambaran yang jelas. Analisis data yang digunakan adalah analisis data yang berupaya memberikan gambaran secara jelas dan konkrit terhadap objek yang dibahas secara kualitatif dan selanjutnya data tersebut disajikan secara deskriptif yaitu menjelaskan, menguraikan, dan menggambarkan sesuai dengan permasalahan yang erat kaitanya dengan penelitian ini.

D.          Ruang Lingkup
Dalam Penelitian ini peneliti memfokuskan masalah sebagai berikut:
1.            Kelembagaan Negara RI.
2.            Lembaga Tinggi Negara (Eksekutif, Legislatif, Yudikatif).

BAB II
PERMASALAHAN

Permasalahan yang akan di bahas dalam penelitian ini adalah:
a.            Bagaimanakah sejarah ketatanegaraan Indonesia?
b.            Bagaimanakan pembagian kekuasaan dalam ketatanegaraan RI?
c.             Bagaimanakah lembaga-lembaga negara menurut UUD 1945?


BAB III
PEMBAHASAN

A.          Sejarah Ketatanegaraan Indonesia
1.            Perubahahan Sistem Pemerintahan Negara
Sehari setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada Tanggal 17 Agustus 1945, konstitusi Indonesia sebagai  suatu Revolusi grondwet telah disahkan pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dalam sebuah naskah yang dinamakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
UUD NRI 1945 dikenal sebagai suatu naskah yang singkat dan supel karena hanya hal-hal dan aturan-aturan pokok saja yang ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar (UUD), sedangkan hal-hal yang diperlukan untuk menyelenggarakan aturan-aturan pokok itu harus diserahkan pada undang-undang yang lebih rendah.
Sejak pertama kali kita menyatakan bernegara Republik Indonesia, sudah memulai dengan tidak menjalankan Pasal-pasal dari UUD NRI 1945. Pasal-pasal yang kita gunakan adalah Pasal peralihan. Sebagai contoh, Presiden dan Wakil Presiden yang seharusnya dipilih oleh Majelis Permusyawaran Rakyat menurut Pasal 6 ayat(2) UUD NRI 1945 ternyata dipilih oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) berdasarkan Pasal III Aturan Peralihan. Akan tetapi, hal ini dimaklumi karena ini adalah sesuatu yang pertama kali menuju pada adanya suatu negara. Letak kesalahan dari pada lembaga ini bukan pada saat pembentukan dan pada waktu bekerjanya, tetapi adalah diterimanya hasil-hasil karyanya oleh seluruh rakyat Indonesia.
Berdasarkan UUD NRI 1945, Pemerintahan Republik Indonesia dipimpin oleh Presiden dan dibantu oleh seorang Wakil Presiden (Pasal 4 ayat (1) dan (2). Presiden, selain sebagai Kepala Negara ia juga sebagai kepala pemerintahan.
Sistem pemerintahan kita adalah presidensial, dalam arti kepala pemerintahan adalah Presiden. Dan dipihak lain ialah tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat, artinya Kedudukan Presiden tidak tergantung kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Kecuali Presiden dibantu oleh Wakil Presiden, ia juga dibantu oleh Menteri-Menteri negara, yang memimpin Departemen Pemerintahan (sekarang ada Menteri yang tidak memimpin Departemen), diangkat diberhentikan oleh Presiden (Pasal 17 ayat(1), (2), dan (3). Menteri-Menteri ini tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan  Rakyat.  Kedudukannya  tidak tergantung  kepada Dewan  Perwakilan  Rakyat,  akan  tetapi  tergantung pada Presiden. Mereka  adalah  Pembantu Presiden.
Pada masa awal Pemerintahan, kekuasaan Presiden dalam menjalankan pemerintahan bukan hanya sekedar berdasarkan Pasal 4, 5, 10, 11, 12, 13, 14, dan 15 UUD NRI 1945, tetapi juga berdasarkan Pasal IV Aturan  Peraliahan  UUD   yang   berbunyi Sebelum     Majelis Permusyawaran Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-Undang Dasar Ini, segala kekusaanya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasional berdasarkan ketentuan Pasal IV Aturan Peralihan.

2.            Perkembangan Konstitusi di Indonesia
Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia ada empat macam Undang-Undang Dasar yang pernah berlaku ,yaitu: (1) UUD NRI 1945, yang berlaku antara 18 Agustus 1945 sampai 27 Desember 1949; (2) Konstitusi Republik Indonesia Serikat ; (3) UUD Sementara 1950, yang berlaku antara 17 Agustus 1950 sampai 5 Juli 1959; (4) UUD NRI 1945, yang berlaku lagi sejak dikeluarkanya Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Dalam keempat periode berlakunya keempat macam Undang-Undang Dasar itu, UUD NRI 1945 berlaku dalam dua kurun waktu. Kurun waktu pertama telah berlaku UUD NRI 1945 sebagaimana diundangkan dalam berita Republik Indonesia Tahun II No. 7. Kurun waktu kedua berlaku sejak Presiden Soekarno mengelurarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sampai sekarang. Melalui Dekrit itu, telah dinyatakan berlakunya kembali UUD NRI 1945.
Perkembangan Ketatanegaraan Republik Indonesia semenjak Proklamasi Kemerdekaan dengan UUD NRI 1945 dan pancasila sebagai dasar negara, tidak lapang jalanya karena Kolonilalis Belanda selalu ingin menancapkan kembali kekuasanya.
Pengalaman pahit pernah mewarnai perjalanan bangsa Indonesia ketika Belanda memaksakan diri untuk menunjukan kepada dunia bahwa republik yang proklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 itu sudah runtuh. Ia sudah tidak lagi memiliki kedaulatan. Belanda tidak henti-hentinya mengusahakan segala jalan dalam merongrong Republik Indonesia.
Mereka secara terus menerus membuat negara di Wilayah Republik Indonesia(RI) yang telah diakui de facto dalam persetujuan Linggarjati. Dengan disetujuinya hasil-hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tanggal 2 November 1949 di Den Haag, maka pada tanggal 27 Desembar 1949 dilakukan Penandatanganan naskah penyerahan kedaulatan dari pemerintah Belanda. Dalam Konverensi Meja Bundar disepakati tigal hal, yaitu:
a.            Mendirikan Negara Republik Indonesia;
b.            Penyerahan kedaulatan kepada RIS, yang berisi tiga hal, yaitu;(a) piagam penyerahan kedaulatan dari kerajaan Belanda kepada pemerintah RIS; (b) status uni; dan (c) persetujuan perpindahan;
c.             Mendirikan uni antara Republik Indonesia Serikat dengan Kerajaan Belanda.

3.            Dekrit Presiden 5 Juli 1959


Seperti halnya Konstitusi RIS 1949, UUDS 1950 ini juga bersifat  sementara, hal ini terlihat jelas dalam rumusan Pasal 134, yang mengharuskan konstituante bersama-sama dengan pemerintah segera menyusun Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang akan menggantikan UUDS 1950 itu, akan tetapi berbeda dari Konstitusi RIS yang tidak sempat membentuk konstituante sebagaimana diamanatkan didalamnya, amanat UUDS 1950 telah dilaksanakan sedemikian rupa sehingga pemilihan umum berhasil diselenggarakan pada bulan Desember 1955 untuk memilih anggota konstituante.
Apabila dicermati Konsideran Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang dimuat dalam keputusan Presiden No. 150 Tahun 1959, dekrit tersebut dikeluarkan dengan alasan:
a.            Bahwa anjuran Presiden dan Pemerintah untuk kembali kepada UUD NRI 1945 yang disampaikan kepada segenap Rakyat Indonesia dengan Amanat Presiden pada 22 April 1959, tidak memperoleh keputusan dari Konstituante sebagaimana ditentukan dalam UUD sementara;
b.            Bahwa berhubung dengan pernyataan sebagian terbesar Anggota-anggota sidang pembuat UUD untuk tidak menghadiri lagi sidang, konstituante tidak mungkin menyelesaikan tugas yang dipercayakan oleh Rakyat Indonesia;
c.             Bahwa hal yang demikian menimbulkan keadaan ketatanegraan yang membahayakan persatuan dan keselamatan negara, Nusa, dan Bangsa, serta merintangi pembangunan semesta untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur;
d.            Bahwa dengan dukungan bagian terbesar Rakyat Indonesia dan didorong oleh keyakinan kami sendiri, kami terpaksa menempuh satu-satunya jalan untuk menyelematkan negara Proklamasi;
e.             Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai UUD NRI 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.

Semuanya dikesankan begitu mencekam sehingga disimpulkan sebagai keadaan Ketatanegaraan yang membahayakan persatuan dan keselamatan negara, nusa, dan bangsa, serta merintangi pembangunan semesta untuk mencapai masyarakat adil dan makmur karenanya dekrit ini diperlukan untuk menyelamatkan negara.

4.            Reformasi dan Perubahan UUD NRI 1945
Salah satu berkah dari reformasi adalah perubahan dari UUD NRI 1945. Sejak kelurarnya Dekrit 5 Juli 1959 yang memerintahkan kembali ke UUD NRI 1945 sampai berakhirnya kekuasaan Presiden Soeharto, praktis UUD NRI 1945 belum pernah diubah untuk disempurnakan. Soekarno dengan Demokrasi Terpimpinya bukannya menjunjung tinggi nilai-nilai kedaulatan rakyat, tetapi yang dijunjung tinggi adalah kekuasaan pemimpin, itulah yang sangat dominan. Era ini melahirkan sistem diktator dalam kepemimpinan negara. Presiden Soekarno telah gagal keluar dari pilihan dilematisnya antara mengembangkan demokrasi lewat sistem multipartai dengan mempertahankan kekuasaanya. Pengangkatan Presiden seumur hidup melalui Ketatapan MPRS merupakan salah satu perwujudan penyelewengan UUD NRI 1945.
Begitupun ketika Seoharto naik ke panggung politik menggantikan Soekarno menjadi Presiden, penyelewengan terhadap UUD NRI 1945 kembali berulang. UUD NRI 1945 tidak boleh disentuh oleh siapa pun,-istilah yang disakralkan dengan berbagai ancaman dan stigma subsersif yang dituduhkan bagi yang akan menyentuhnya. Bahkan, hanya pemerintah orde baru (Soeharto) yang boleh menfsirkan makna yang terkandung dalam UUD NRI 1945, sementara MPR tinggal mengesahkan saja. Contoh yang paling menonjol adalah tafsir terhadap Pasal 6 dan 7 UUD NRI 1945.
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang dilakukan oleh Majelis dengan suara terbanyak, direduksi menjadi Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis dengan suara mufakat, dan calonnya harus tunggal. Jadi, tidak ada pemungutan suara (Voting). Disamping itu tidak ada pembatasan masa jabatan bagi Presiden dan Wakil Presiden, asal masih dipilih oleh MPR berapakalipun tidak menjadi masalah. Hasilnya, Soeharto berhasil menduduki kursi Presiden selama kurang lebih 32 tahun, sementara Wakil Presidenya selalu berganti. Bahkan, tidak sedikit dari anggota Tim Penatar Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) kala itu (orde baru), yang melakukan kampanye pembodohan pada masyarakat dengan mengatakan kalau UUD NRI 1945 diubah negara akan kacau atau hancur perubahan UUD NRI 1945 dianggap sebagai tindakan subversif, musuh utama negara, dan seterusnya.
Akibatnya adalah seluruh celah kekurangan UUD NRI 1945 bukanya disempurnakan, tetapi ditutupi dengan bingkai yuridis berupa Ketetapan MPR No.1/MPR/1978 tentang Peraturan Tata Tertib MPR, yang berisi kebulatan tekad anggota Majelis yang akan mempertahankan UUD NRI 1945, tidak berkehendak dan tidak akan melakukan perbuatan terhadapnya serta akan melaksanakan secara murni dan konsekuen. Hal ini memang ironis, padahal Pasal 37 UUD NRI 1945 memberikan peluang penyempurnaan apabila akan dilakukan perubahan terhadapnya dengan qorum yang telah ditentukan secara jelas. Tetapi dalam praktek ketatanegaraan, peluang inipun dibelokan arahnya bahkan direduksi melalui Ketetapan MPR No. 1/MPR/1983 jo Ketetapan MPR No. VII/MPR /1988 jo UU No. 5 Tahun 1985 tentang Referendum.
Sejak terjadinya reformasi, UUD NRI 1945 yang disakralkan mengalami desakralisasi. Gagasan perubahan UUD NRI 1945 menjadi tuntutan yang tidak bisa dielakan lagi. Mengapa UUD NRI 1945 harus dilakukan perubahan? Berbagai alasan dapat dikemukakan mengapa perubahan itu penting dan harus dilakukan. Secara filosofis, pentingnya perubahan UUD NRI 1945 adalah pertama, karena UUD NRI 1945 adalah moment opname dari berbagai kekuatan politik dan ekonomi yang dominan pada saat dirumuskanya konstitusi itu. Setelah 54 tahun, tentu terdapat berbagai perubahan baik ditingkat nasional maupun global. Hal ini tentu saja belum tercakup di dalam UUD NRI 1945 karena saat itu tampak perubahan tersebut. Kedua, UUD NRI 1945 disusun oleh manusia yang sesuai kodratnya tidak akan pernah sampai kepada tingkat kesempurnaan. Pekerjaan yang dilakukan manusia tetap memiliki berbagai kemungkinan kelemahan maupun kekurangan.
Dari aspek historis, sedari mula pembuatanya UUD NRI 1945 bersifat sementara, sebagaimana yang dinyatakan oleh Ir. Soekarno (Ketua PPKI), dalam rapat pertama 18 Agustus 1945, yang mengatakan sebagai berikut.
―…tuan-tuan semuanya tentu mengerti bahwa Undang-Undang Dasar yang kita buat sekarang ini adalah Undang-Undang Dasar Sementara. Kalau boleh saya memakai perkataan ― ini adalah Undang-Undang Dasar Kilat‖, nanti kalau kita telah bernegara dalam suasana yang lebih tentram, kita tentu akan mengumpulkan kembali MPR yang dapat membuat Undang-Undang Dasar yang lebih lengkap dan lebih sempurna…‖.

Dari ungkapan Soekarno di atas, dapatlah disimpulkan bahwa UUD NRI 1945 dibuat secara tergesa-gesa karena akan segera dipakai untuk melengkapi kebutuhan berdirinya negara baru Indonesia yang sudah diproklamasikan sehari sebelumnya, yakni 17 Agustus 1945 dan statusnya adalah sementara. Di samping itu, para perumus UUD NRI 1945 belum mempunyai pengalaman mengurus negara sehingga masih mencari-cari pola dan bentuk negara macam apa yang akan didirikan serta bagaimana menjalankan roda pemerintahan. Untuk itu, wajar kalau UUD NRI 1945 belum lengkap dan tidak sempurna sehingga perlu disempurnakan dan dilengkapi.
Secara yuridis para perumus UUD NRI 1945 sudah menunjukan kearifan bahwa apa yang mereka lakukan ketika UUD NRI 1945 disusun tentu akan berbeda dengan kondisinya di masa yang akan datang dan mungkin suatu saat akan mengalami perubahan. Baik dilihat dari sejarah penyusunan maupun sebagai produk hukum yang mencerminkan pikiran dan kepentingan yang ada pada saat itu, UUD akan dimakan masa apabila tidak diadakan pembaruan sesuai dengan dinamika kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara di bidang politik, ekonomi, sosial, maupun budaya. Untuk itu, mereka (perumus UUD NRI 1945) membuat Pasal perubahan di dalam UUD NRI 1945, yaitu Pasal 37. Tetapi ketentuan dalam Pasal 37 sangat simple karena hanya mengatur segi pengembalian putusan belaka, sehingga sulit untuk diterapkan karena tidak dijelaskan bagian mana saja yang boleh dan yang tidak boleh untuk diubah, bagaimana cara mengubahnya dan seterusnya. Tidak ada ketentuan lain menyangkut perubahan UUD NRI 1945 sebab tambahan muncul kemudian, yaitu melalui interpretasi historis dan filosofis oleh Ketetapan MPR No.XX/MPRS/1966, bahwa Pembukaan UUD NRI 1945 dinyatakan tidak dapat diubah. MPR hasil Pemilu 1999 juga bersepakat untuk tidak mengubahnya. Perubahan UUD NRI 1945 disandarkan lebih lanjut kepada referendum ( Ketetapan MPR No.IV/MPR/1983 jo UU No. 5 Tahun 1985), yang kini sudah dicabut dengan ketetapan MPR No. VIII/MPR/1998.
Dorongan memperbarui atau mengubah UUD NRI 1945 didasarkan pula pada kenyataan bahwa UUD NRI 1945 sebagai subsistem tatanan konstitusi dalam pelaksanaannya tidak berjalan sesuai dengan Staatsidee mewujudkan negara berdasarkan konstitusi, seperti tegaknya tatanan demokrasi, negara berdasarkan atas hukum yang menjamin hal-hal seperti hak asasi manusia, kekuasaan kehakiman yang merdeka, serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal yang terjadi adalah etatisme, otoriterisme, atau kediktataoran yang menggunakan UUD NRI 1945 sebagai sandaran.
Secara substansif, UUD NRI 1945 banyak sekali mengandung kelemahan. Hal ini dapat diketahui antara lain; Pertama, kekuasaan eksekutif terlalu besar tanpa disertai oleh prinsip checks and balances yang memadai, sehingga UUD NRI 1945 biasa disebut executive heavy, dan itu menguntungkan bagi siapa saja yang menduduki jabatan Presiden; Kedua, rumusan ketentuan UUD NRI 1945 sebagian besar bersifat sederhana, umum bahkan tidak jelas (vague) sehingga banyak Pasal yang menimbulkan multitafsir; Ketiga, unsur-unsur konstitusionalisme tidak dielaborasi secara memadai dalam UUD NRI 1945; Keempat, UUD NRI 1945 terlalu menekankan pada semangat penyelenggara negara; Kelima, UUD NRI 1945 memberikan atribusi yang terlalu besar kepada Presiden untuk mengatur berbagai hal penting dalam UU. Akibatnya, banyak UU yang substansinya hanya menguntungkan si pembuatnya (Presiden dan Wakil Presiden) ataupun saling bertentangan satu sama lain. Keenam, banyak materi muatan yang penting justru diatur di dalam Penjelasan UUD, tetapi tidak tercantum di dalam Pasal-pasal UUD NRI 1945. Ketujuh, status dan materi Penjelasan UUD NRI 1945. Persoalan ini sering menjadi objek perdebatan tentang status Penjelasan karena banyak materi penjelasan yang tidak diatur didalam Pasal-pasal UUD NRI 1945, misalnya materi negara hukum, istilah kepala negara dan kepala pemerintahan, istilah mandataris MPR, pertanggungjawaban Presiden dan seterusnya.
Dalam rapat-rapat panitia Ad Hoc III (PAH) Badan pekerja MPR masa sidang 1999 belum sampai pada kesepakatan mengenai materi rancangan perubahan UUD NRI 1945, terlebih dahulu disepakati dua hal: kesepakatan untuk langsung melakukan perubahan tanpa menetapkan UUD NRI 1945 terlebih dahulu dan kesepakatan dasar antarfraksi MPR dalam melakukan perubahan UUD.
Fraksi-fraksi di MPR menyepakati bahwa perubahan UUD NRI 1945 tidak menyangkut dan mengganggu eksistensi negara, tetapi dimaksudkan untuk memperbaiki dan menyempurnkan penyelenggaraan negara agar lebih demokratis, seperti disempurnakanya sistem Check and balances dan disempurnakannya Pasal-pasal mengenai hak asasi manusia. Sebagai konsekuensi logis dari kesepakatan itu, perubahan dilakukan terhadap Pasal-pasal bukan tehadap Pembukaan UUD NRI 1945.

B.          Pembagian Kekuasaan Dalam Ketatanegaraan RI
1.            Pemikiran Pembagian Kekuasaan
Pembagian kekuasaan sebagaimana ditetapkan dalam undang-undang 1945 merupakan bagian intergral dari hakekat hidup berbangsa dan bernegara yang berdasarkan demokrasi. Pembagian tersebut meliputi dengan mengedepankan prinsip checks and balances system. Di bidang legislatif terdapat DPR dan DPD; di bidang eksekutif terdapat Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih oleh rakyat; di bidang yudikatif terdapat Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial; dan di bidang pengawasan keuangan ada BPK. Namun demikian, dalam pembagian kekuasaan antar lembaga negara terdapat kedudukan dan hubungan tata kerja antar lembaga negara yang mencerminkan adanya kesamaan tujuan dalam penyelenggaraan negara.

2.            Esensi Pembagian Kekuasaan
Berdasarkan Undang-undang 1945 Indonesia adalah penganut sistem pembagian kekuasaan (division of power) bukan pemisahan kekuasaan (separation of power) sebagaiaman sistem pemisahan kekuasaan yang dianut oleh Amerika Serikat. Adapun esensi pembagian kekuasaan itu dalam Negara adalah untuk mencegah menumpuknya kekuasaan di tangan satu orang sehingga bisa menimbulkan kecenderungan terjadinya penyalah gunaan  kekuasaan (abuse of power).
Dalam sebuah Negara ada dua alasan kenapa dalam sebuah Negara menganut sistem pembagian kekuasaan atau pemisahan kekuasaan, alasan pertama adalah terkait dengan sejarah berdirinya suatu Negara bersangkutandan fakta yang terdapat di masyarakat, seperti kondisi geografis, masyarakat pluraris atau bagaiamana pendiri Negara bersangkutan mengadopsi sistem ketata negaraan yang dianut oleh Negara lain. Kemudian yang kedua terkait dengan dengan Negara yang pernah menjajah Negara bersangkutan (bekas jajahan Negara lain).

3.            Asas-asas Pembagian Kekuasaan
Dimuka sudah disinggung tentang pembagian kekuasaan Negara yaitu eksekutif, legislative dan eksekutif yang biasa di sebut “trichotomy” atau yang lebih dikenal trias politica. Teory ini sering dihubungkan dengan Montesque, yang memang penggagas awal sistem ini. Menurutnya, dalam setiap pemerintahan terdapat tiga jenis kekuasaan yaitu Legislatif, eksekutif, dan Yudikatif, dimana ketiha jenis kekuasaan itu mesti terpisah satu sama lainya, baik mengenai tugas (Fuctie) maupun mengenai alat perlengkapan (organ ) yang melakukanya. Dari gagasan Montesque ini dengan gamblang adanya pemisah antara ketiga kekuasaan tersebut dan tidak adanya campur tangan antar lembaga dan orang yang menanganinya.
Adapun asas Kekuasaan yang dianut UUD 1945 Pra-Amandemen adalah Pembagian kekuasaan tidak pemisahan kekuasaan (Separation of power). Tetapi dalam sistem ketata negaraan menurut UUD 1945 mengenal adanya pembagian kekuasaan sebagai berikut:
a)            Pada dasarnya UUD 1945 mengenal pembagian pembagian kekuasaan;
b)           UUD 1945 membagi kekuasaan kepasa tiga lembaga yang diatur secara mendasar kedudukan dan fungsinya;
c)            Antar lembaga Negara ada kerjasama di dalam menjalankan fungsi  dan tugasnya sesuai aturan perundang-undangan;
d)           Fungsi yudikatif, dalam menjalankan tugasnya merupakan kekuasaan yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan yang lain, baik eksekutif maupun legislative. Disamping itu lembaga penuntut umum (kejaksaan agung) yang tidak terdapat penyebutannya didalam UUD 1945.

Dalam konteks kelembagaan Negara, salah satu tujuan utama amandemen UUD 1945 adalah untuk menata keseimbangan (check and balans) antar lembaga Negara. Hubungan itu ditata sedemikian rupa sehingga tidak terjadi pemusatan kekuasaan pada salah satu institusi Negara saja. Apalagi, the central of a constitution is to create the precondition for well-functioning democratic order. Dengan penumpukan kekuasaan pada satu istitusi negaran, kehidupan ketatanegaraan yang lebih baik demokratik tidak mungkin diwujudkan secara baik.
Perubahan yang mendasar hasil amandemen UUD 1945 adalah perbedaan yang substansial tentang kelembagaan Negara, kedudukan, tugas, wewenang, hubungan kerja dan cara lembaga uang bersangkutan . untuk menganggapi hal ini Ahmad Bancin mengyatakan bahwa esensi pembagian kekuasaan yang tercermin dalam UUD 1945 adalah wujud penghargaan pada hak-hak rakyat sebagai pemegang kedaulatan yang harus diaktualisasikan dalam bentuk perwujudan keadilan social dan kesejahteraan. Dan juga Andi Mustari Pide merespon tentang amandemen UUD 1945 yang berkaitan tentang sistem kekuasaan, mengatakan bahwa pembagian kekuasaan yang dianut Indonesia menurut UUD 1945 sebelum dan sesudah amandemen bukanlah  trias politica ala montesque namun memiliki cirri khas tersendiri dengan tujuan utama tentang pembatasan kekuasaan antar lembaga terlebih Presiden, sehingga dapat berjalan secara seimbang antar lembaga dengan mengedapankan check and balance.

C.          Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945
1.            Lembaga Negara Memegang Kekuasaan Legislatif
a)           MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat)
Pasal 2 UUD 1945 setelah amandemen mengatakan MPR terdiri atas anggota DPR dan DPD yang di pilih melalui pemilihan umum. Selanjutnya dalam ayat 2 ayat tersebut dinyatakan MPR bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibu kota Negara. Kemudian dalam ayat 3 pasal 2 tersebut dinyatakan pula segala putusan MPR ditetapkan dengan suara terbanyak dan ada pakar menyatakan kelemahan pasal ini justru kurang menghargai asas musyawarah mufakat atau mengesampingkan kepentingan minoritas.
Wewenang (pasal 3 (1) UUD 1945 sesudah amandemen)
1)           Mengubah dan menetapkan UUD;
2)           Melantik Presiden dan Wakil Presiden;
3)           MPR hanya dapat memperhentikan Presiden dan atau Wakil Presiden dalam masa jabatanya menurut UUD.
Wewengan MPR (pasal 3 (1) UUD 1945  sebelum amandemen)
1)           Memilih dan atau mengangkat Presiden dan Wakil Presiden;
2)           Menetapkan Garis Besar Haluan Negara (GBHN);
3)           Menyelenggarakan sidang istimewa untuk meminta pertanggung jawaban presiden dalam hal presiden sungguh-sungguh melanggar haluan Negara.

Jika mencermati tugas dan wewenang MPR pasca perubahan UUD 1945 jelas telah berkurang, selain itu banyak pihak menilai perubahan UUD 1945 sebuah kemunduran dari segi eksistensi dan tugas serta wewenang. Eksistensi MPR yang tadinya adalah lembaga tertinggi Negara sekarang menjadi lembaga tinggi Negara sejajar dengan Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilah Daerah (DPD), Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Badan Pengawas Keuangan (BPK).  Adapun ide dalam perbuahan status ini secara konseptual ingin menegaskan bahwa MPR bukan satu-satunya lembaga yang melaksanakan kedaulatan rakyat. Setiap lembaga yang mengemban tugas-tugas politik Negara dan pemerintahan (kecuali kehakiman dan kejaksaan) pada hakikatnya adalah pelaksana kedaulatan rakyat secara objektif dan konsisten.

b)           DPR (Dewan Perwakilan Rakyat)
Dalam pembahasan sebelumnya sudah kami singgung bahwa pasca perubahan UUD 1945 serta merta membawa perubahan pada jumlah lembaga Negara, wewenang dan tugas DPR. Sebelum perubahan UUD 1945 dikatakan bahwa DPR adalah kuat dan senantiasa dapat mengaweasi tindakan-tindakan Presiden bahkan jika DPR menganggap bahwa presiden sungguh-sungguh melanggar haluan Negara yang diatur dalam UUD 1945 atau melanggar ketetapan MPR, maka DPR dapat mengundang MPR untuk menyelenggarakan sidang istimewa duna meminta pertanggung jawaban Presiden. Untuk lebih jelasnya berikut tugas dan wewenang DPR sebelum amandemen dan sesudah amandemen.
Wewenang DPR sebelum Amandemen
1.     Memberikan persetujuan atas RUU yang diusulkan presiden.
2.     Memberikan persetujuan atas PERPU.
3.     Memberikan persetujuan atas Anggaran.
4.     Meminta MPR untuk mengadakan sidang istimewa guna meminta pertanggungjawaban presiden.
5.     Tidak disebutkan bahwa DPR berwenang memilih anggota-anggota BPK dan tiga hakim pada Mahkamah Konstitusi.
Wewenang DPR setelah Amandemen
1.     Membentuk Undang-Undang yang dibahas dengan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama
2.     Membahas dan memberikan persetujuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
3.     Menerima dan membahas usulan RUU yang diajukan DPD yang berkaitan dengan bidang tertentu dan mengikutsertakannya dalam pembahasan
4.     Menetapkan APBN bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPD
5.     Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan UU, APBN, serta kebijakan pemerintah

c)            DPD (Dewan Perwakilan Daerah)
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) merupakan lembaga baru yang hadir di era reformasi. Perubahan kedua UUD 1945 memasukan DPD dalam pasal 22C BAB VIIA Mengenai jumlah anggota, cara pemilihannya, dan wewenangnya. Menurut pasal 22C UUD 1945 (1) Anggota dewan dipilih dari setiap profinsi melalui pemilihan umum. Ayat (2) Anggota DPD dari setiap Provinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota DPD itu tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR.
Adapun untuk selanjutnya dijelaskan mengenai tugas dan wewenang, adalah sebagai berikut:
1)           Mengajukan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan Otonomi Daerah.
2)           Ikut membahas Rancangan Undang-undang yang berkaitan dengan Otonomi Daerah.
3)           Memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.
4)           Melakikan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah menyampaikan hasil pengawasannya kepada DPR.

1.            Lembaga Negara yang memegang kekuasaan Eksekutif
a)           Presiden
Sistem ketatanegaraan Indonesia tidak dapat disetarakan dengan sistem ketatanegaraan lain meskipun sama-sama menganut pembagian kekuasaan. Presiden adalah lembaga Negara yang berperan sebagai lembaga Eksekutif, dimana presiden adalah lembaga yang menjalankan pemerintahan yang dalam prakteknya dibantu oleh Wakil Presiden dan Mentri-mentri. Dalam hal ini presiden mempunyai tugas memegang dan menjalankan kekuasaan pemerintahan menurut UUD 1945.
Menurut UUD 1945 kepada presiden diberikan wewenang untuk:
1)           Grasi yaitu hak member ampun kepada seseorang yang telah dijatuhi putusan hakim.
2)           Amnesty yaitu hak unntuk menghapuskan segala akibat hukum dari beberapa kejahatan dari beberapa orang yang sudah ditangkap, belum ditangkap, sudah di hukum.
3)           Abolisi yaitu hak meniadakan/menghentikan terhadap penentuan yang belum selesai tetapi sudah mulai atau terhadap penuntutan yang belum diadakan.
4)           Rehabilitasi yaitu mengembalikan nama baik seperi seseorang semula.

b)           Wakil Presiden
Jika presiden tidak bisa menjalankan amanah karena mangkat, berhenti atau diberhentikan maka tugas diambil alih oleh wakil presiden sampai batas waktu jabatan. Jika jabatan wakil presiden kosong maka selambat-lambatnya dalam waktu 60 hari MPR menyelenggarakan sidang pemilihan dari usulan presiden.
Tugas dan wewenang wakil presiden
1)           Membantu presiden dalam melakukan kewajibannya.
2)           Menggantikan presiden sampai waktunya presiden meninggal dunia, berhenti atau diberhentikan atau tidak dapat melakukan kewajiban dengan sebaik-baknya.
3)           Memperhatikan secara khusus, menampung masalah yang perlu menyangkut bidang tugas kesejahteraan rakyat.
4)           Melakukan pengawasan operasional pembangunan dengan bantuan departemen-departemen, lembaga non-departemen.

1.            Lembaga Negara yang memegang kekuasaan Yudikatif
Menurut UUD 1945 pasca amandemen menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk melaksanakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Utnuk melaksanakan hal hal itu dibutuhkan badan-badan atau lembaga peradilan yang sanggup bekerja dengan penuh profesionalitas dan integritas tinggi guna menegakkan hukum dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Kekuasaan kehakiman yang merdeka tersebut yang dijalankan melalui lembaga peradilan tersebut yang dijalankan melalui lembaga peradilan adalah dalam rangka mewujudkan cita-cita Negara hukumcdan cita-cita keadilan dimana lembaga peradilan tersebut harus bebas dari campur tangan pihak manapun.
Upaya kearah tersebut menurut Triwulan Tutik dilakukan dengan mengadakan penataan ulang lembaga Yudikatif, peningkatan kualifikasi dan kualitas hakim dan penataan perundang-undangan yang berlaku. Implikasi dari ketentuan dalam amandemen UD 1945 telah membagi kekuasaan yudikatif dalam tiga kamar yaitu Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Yudisial (KY).
a)           Mahkamah Agung (MA)
Merujuk pada UUD 1945 pasca amanndemen menentapkan bahwa Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya adalah dalam lingungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan TUN adalah pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka di samping Mahkamah Konstitusi. Dengan kata lain reformasi bidang hukum menenmpatkan MA tidak satu-satunya kekuasaan kehakiman, tetapi MA hanyalah satu pelaku kekuasaan kehakiman. Mahkamah Agung memiliki posisi yang strategis terutama bidang hukum dan ketatanegaraan yang di format 1. Menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan; 2. Mengadili pada tingkat kasasi; 3. Menguji peranturan perundang-undangan dibawah undang-undang; dan 4. Berbagai kekuasaan atau kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang.
1)           Susunan Keanggotaan Mahkamah Agung
Susunan dan kekuasaan bada-badan kehakiman diatur dengan UU No.14 tahun 1985 yang telah diubah dengan UU No.4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman dan khusus tentang Mahkamah Agung diatur dalam UU No. 5 tahun 2004 menentukan susunan MA terdiri atas Hakim Agung (Pimpinan), Hakim anggota, panitera dan seorang sekretaris.Adapun jumlah Hakim Agung paling banyak enam puluh orang.

2)           Tugas dan Wewenang MA
MA sebagai salah satu kuatan kehakiman memiliki tugas dan kewenangan antara lain:
a.            Memeriksa dan memutus permohonan kasasi, sengketa tentang kewenagan mengadili dan permohonan peninjauan kembali.
b.            Menguji dan menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang atas alasan bertentangan dengan UU diatasnya.
c.             Melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggraan peradilan dan mengawasi tingkah laku dan perbuatan para hakim disemua lingkungan peradilan.
d.            Memberikan pertimbangan hukum kepada presiden dalam permohonan grasi dan rehabilitas ataupun pertimbangan hukum lainnya.

3)           Badan Peradilan di Lingkungan MA
Susunan peradilan di Indonesia dibawah kuasaan kehakiman Mahkamah Agung
a.            Peradilan Umum, kekuasaan peradilan Umum meliputi
Pengadilan Negeri yaitu peradilan umum sehari-hari yang berwenang memeriksa dan memutuskan perkara dalam tingkat pertama segala perkara perdata dan pidana sipil. Pengadilan Negeri berkedudukan di Ibu Kota Kabupaten/Kota.
Peradilan Tinggi yaitu pengadilan banding yang akan mengadili kembali perkara perdata dan pidana yang telah diadili pengadilan negeri oleh terdakwa atau jaksa yang kurang puas atas keputusan pengadilan negeri. Peradilan tinggi berada di Ibu Kota Provinsi.
b.            Peradilan Agama, merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman bagi masyarakat yang beraga Islam mengenai perkara perdata tertentu yaitu Perkawinan terdiri atas (pencegahan, pembatalan, pemutusan perkawinan), Kewarisan, dan Hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam serta Infaq dan Shodaqoh.
c.             Peradilan Tata Usaha Negara, adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan di dalam sengketa tata usaha Negara. Kekuasaan peradilan tata usaha Negara dilaksanakan oleh pengadilan TUN dan pengadilan tinggi TUN.
d.            Peradilan Militer, bertugas memeriksa dan memutus perkara pidana yang dlakukan oleh seseotrag yang pada waktu itu menjado anggota TNI atau POLRI atau yang dipersamakan dengan itu.

b)           Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi adalah sebuah lembaga Negara yang ada setelah amandemen UUD 1945. Dalam konteks ketatanegaraan Indonesia MK di konstruksikan; Pertama, sebagai pengawal konstitusi yang berfungsi menegakkan keadilan konstitusional ditengah kehidupan masyarakat. Kedua, MK bertugas menjamin dan mendorong agar konstitusi dihormati dan dilaksanakan oleh semua komponen Negara secara konsisten dan bertanggungjawab. Ketiga, di tengah kelemahan sistem konstitusi yang ada , MK berperan sebagai penafsir agar spirit konstitusi selalu hidup dan mewarnai keberlangsungan bernegara dan bermasyarakat.
1)           Susunan Keanggotaan Mahkamah Konstitusi.
Sesuai dengan Pasal 7 UU No. 24 tahun 2003 yang berisikan untuk memperlancar pelaksanaan dan wewenangnya MK dibantu dengan Sembilan hakim konstitusi dibantu oleh sekretaris jendral dan kepaniteraan.
2)           Hakim Konstitusi
Sembilan hakim tersebut diajukan masing-masih tiga oleh DPR, tiga oleh Mahkamah Agung dan tiga oleh Presiden lalu ditetapkan oleh keputusan Presiden untuk masa jabatan tiga tahun.
3)           Tugas dan Wewenang Mahkamah Konstitusi.
Wewenang mahkamah konstitusi diatur dalam pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 jo Pasal 10 ayat (1) UU No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan 1. Mahkamah konstitusi berwenang mengadili pada tingkat perama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD. 2. Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewengannya diberikan oleh UUD, 3. Memutus pembubaran partai politik, 4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilu.

c)            Komisi Yudisial
Setelah terjadi amandemen komisi yudisial adalah lembaga mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya. Dalam konteks ketatanegaraan KY mempunyai peranan yang penting yaitu pertama, mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka melalui pencalonan hakim agung, kedua, melakukan pengawasan terhadap hakim yang transparan dan partisipatif guna menjaga dan menegakkan kohormatan keluhuran martabat serta perilaku hakim.
1)           Susunan Keanggotaa Komisi Yudisial
Komisi Yudisial adalah komisi yang terdiri atas seorang ketua, seorang wakil ketua yang merangkap anggota dan tujuh orang anggota dibantu oleh secretariat jendral. Keanggotaan terdiri atas unsur mantan hakim, praktisi hukum, akademisi, dan anggota masyarakat. Ketua dan wakil dipilih oleh anggota KY. Diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan DPR untuk masa jabatan lima tahun. Anggota KY dilarangmerangkap jabatan menjadi pejabat Negara, hakim, advokat, notaries/PPATK, pengurus BUMN, pengusaha, pegawai negeri, pengurus patai politik.
2)           Tugas dan Wewenang
Sebagaimana yang ditetapkan undang-undang tugas pertama adalah mengusulkan pengangkatan hakim dengan prosedur 1. Melakukan pendaftaran calon hakim agung 2. Melakukan seleksi terhadap calon hakim agung 3. Menetapkan calon hakim agung 4. Mengajukan calon hakim agung ke DPR. Tugas kedua, mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga, menegakkan kohormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim. Dengan cara 1. Menerima laporan dari masyrakat tentang perilaku hakim 2. Meminta laporan berkala kepada badan peradilan 3. Memeriksa dugaan pelanggaran perilaku hakim 4. Memanggil kode etik perilaku hakim 5. Membuat laporan hasil pemeriksaan yang berupa rekomendasi dan disampaikan kepada MA/MK serta tindakannya disampaikan kepada Presiden dan DPR.

d)           Kekuasaan Eksaminatif (BPK)
Lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang memiliki wewenang memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara.
Kekuasaan eksaminatif menurut UUD 1945 dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan
1)           Susunan Keanggotaan BPK
Dalam melakukan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah akan tetapi tidak berdiri diatas pemerintah terdiri atas ketua dan wakil yang merangkap anggota dan lima anggota, pimpinan BPK dipilih dari dan oleh anggota.
2)           Tugas dan Wewenang
Tugas dan wewenang memiliki posisi strategis karena menyangkut semua aspek yang berkaitan dengan sumber dan penggunaan anggaran dan keuangan Negara yaitu:
a.            Memeriksa tanggungjawab tentang keuangan Negara. Hasil pemeriksaan itu diberitahukan kepada DPR, DPD, dan DPRD.
b.            Memeriksa semua pelaksanaan APBN.
c.             Memeriksa tanggungjawab pemerintah tentang keuangan Negara.

BAB IV
PENUTUP

A.          Kesimpulan Umum
Dari makalah diatas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.            Cabang kekusaan Legislatif terdiri dari Fungsi Pengaturan, fungsi pengawasan, fungsi perwakiln, serta fungsi delibratif dan resolusi konflik. Sedangkan;
2.            Cabang kekuasaan Yudikatif terdiri dari kedudukan kekuasaan kehakiman, prinsip pokok kehakiman serta struktur organisasi kehakiman.
3.            Dalam pelaksanaan pemeriksaan BPK memiliki kebebasan dan kemandirian dalam ketiga tahap pemeriksaan, yakni perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan hasil pemeriksaan. Kebebasan dalam tahap perencanaan mencakup kebebasan dalam menentukan obyek yang akan diperiksa, kecuali pemeriksaan yang objeknya telah diatur tersendiri dalam undang-undang, BPK dapat menggunakan pemeriksa dan/atau tenaga ahli dari luar BPK yang bekerja untuk dan atas nama BPK Dalam pelaksanaan tugas pemeriksaan.

B.          Kesimpulan Khusus
Sistem kelembagaan Indonesia terbentuk atas dasar pembagian kekuasaan. Adapun dasar Pembagian kekuasaan adalah keinginan untuk membatasi kekuasaan atau penunmpukan yang ada pada satu lembaga. Oleh hal itulah kemudian di Indonesia adanya pembagian kekuasaan tersebut, meliputi; Legislatif yaitu lembaga yang berkuasa untuk membuat undang-undang dalam hal  ini yang berperan di Indonesia ada tiga lembaga yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD); Eksekutif yaitu lembaga yang melaksanakan Undang-undang dalam hal ini adalah Presiden dan Wakil Presiden Dibantu dengan Mentri-Mentri Khusus; dan Yudikatif yaitu lembaga Independen yang mengawasi dan Mengontrol jalannya pembuatan Perundang-undangan dan jalannya pelaksanaan pemerintahan atau perundang-undangan yang dalam hal ini adalah Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam perkembangannya untuk masalah keuangan Negara walaupun dalam pembuatan RABN dibuat oleh DPR dan Presiden dan jajaranya, untuk mengawasi dan mengontrol belanja Negara di Indonesia memiliki Lembaga yang berkuasa secara Eksaminatif yaitu Badan Pengawas Keuangan (BPK).

C.          Saran
Seiring dengan perkembangan zaman dengan banyaknya tuntutan dan permasalahan Negara yang semakin kompleks ditambah dengan issue-issue distrust masyarakat terhadap pemerintah maka sangatlah penting peranan pemerintah dalam mengatur system kelembagaan Negara secara tegas mengatur fungsi dan kedudukannya. UUD 1945 sebelum dan sesudah perubahan telah mengatur lembaga-lembaga Negara tugas, fungsi dan wewenangnya. akan tetapi, bukan tidak mungkin terjadi perubahan UUD 1945 ke-V mengingat masih ada lembaga Negara yang memiliki kewenangan dan kedudukan yang kurang kuat. Juga perlu adanya penegasan bentuk Parlemen di Indonesia agar tidak adanya kekacauan pembagian kewenangan.
Lembaga-lembaga Negara dewasa ini di Indonesia sedang mengalami pertumbuhan. Banyak lahir lembaga-lembaga Ad hoc yang notabenenya memiliki kewenangan dan fungsi yang bersifat sementara dan tidak kuat. jadi, saran penulis disini adalah pemerintah dapat lebih bijak mengatur lembag-lembaga Negara agar tidak terjadi pemborosan uang Negara membiayai lembaga-lembaga Negara yang sedang tumbuh bagai cawan di musim hujan.

D.          Daftar Pustaka
Assidiqie, Jimmly. 2006. Perkembangan Dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Jakarta: Sekretariat Jendral Dan Kepaniteraan MK RI.
Atmosudirjo, Prajudi. 1994. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Bagir, Manan. 2003. Teori dan Politik Konstitusi. Yogyakarta: FH UII PRESS.
__________. 2006. Lembaga Kepresidenan. Yogyakarta: FH UII PRESS.
Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Kusnardi, Moh dan Ibrahim, Harmaily. 1983. Pengantar Hukun Tata Negara Indonesia. Jakarta: FH UI & CV. Sinar Bakti.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Asal Mula Pulau-Pulau di Tobelo

Hasil Kebudayaan Megalitikum dan Budaya Megalitik

MENGEMBANGKAN SIKAP TOLERANSI BERAGAMA DI SUMATERA SELATAN